Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #147

Persembahan untuk Ibu


*POV Tsaniya Tabriz


Tak akan lagi orang yang akan memanggilku dengan nama Fizah, kecuali ibuku. Ibuku lebih nyaman memanggilku begitu. Sebab, itu nama spesial yang telah ibuku berikan padaku. Aku tak keberatan. Aku tak masalah sampai kapan pun tetap dipanggil ibuk dengan nama Fizah. Kadang jika aku dipanggil dengan nama Tsaniya, aku tak langsung menyahut. Kupikir itu nama siapa, bukan aku yang dipanggil. Aku masih merasa itu nama asing. Kadang aku juga merasa aku bukan diriku jika dipanggil atas nama Tsaniya. Bu Nyai Ridhaa yang kini resmi kupanggil ibuk, Kiai Bahar yang harus kupanggil abah, lalu Gus Fakhar yang memintaku dipanggil abang, mereka semua sudah memanggilku dengan nama Tsaniya.

Aku seperti terlahir kembali menjadi sosok yang baru. Sosok yang masih kupelajari karena Tsaniya itu berbeda dengan Fizah. Tsaniya adalah keturunan seorang kiai yang diharuskan menjadi teladan bagi santri dan Fizah hanyalah seorang santri dengan masa lalu yang kelam. Tsaniya gadis yang jauh lebih pemberani ketimbang Fizah. Tsaniya terlahir sebagai seorang penerus tahta pesantren Al-Furqan, sedang Fizah anak ibu dari keluarga biasa. Fizah tak punya kekuasaan dan kekayaan. Yang akan tetap dikenang di hati ibuku, tapi lambat laun akan menghilang dari Al-Furqan. Dan, kenyataannya itu tidak mudah. Entah nantinya aku akan membutuhkan waktu beradaptasi hingga berapa lama.

Nanti malam Tsaniya akan dinobatkan sebagai putri permata hati yang telah kembali. Lebih tepatnya aku akan dikenalkan kepada seluruh santri. Disaksikan oleh pemilik Pesantren As-Salam dan Pondok Darul Amin. Persiapannya tak muluk-muluk. Halaman pesantren diteduhi terop yang sekiranya muat untuk menampung keseluruhan santri putra dan putri. Alasnya cukup digelarkan terpal berwarna biru. Ada mimbar sepanjang empat meter yang dilapisi karpet corak turki. Dua santri menata alas duduk dan bantal di mimbar itu. Berapa jumlahnya yang harus disesuaikan dengan anggota ndalem dan para kiai yang diundang. Dipasanglah sejumlah sembilan buah. Harusnya sepuluh. Tapi, karena Ning Ulya harus tetap fokus pada tirakatannya, maka dia mau tidak mau harus mengasingkan diri di kamar khusus untuk menjalankan proses tirakatan itu.

Konsumsinya dipesankan bakso lima ratus porsi untuk makanan pembuka. Juga ada nasi kebuli yang dimasak langsung oleh pakarnya. Ada tukang masak pondok yang sudah ahli memasak itu untuk pesantren ini. Kalau biasanya nasi kebuli itu dimasak untuk keluarga ndalem atau untuk suguhan tamu-tamu agung, kali ini semua santri wajib menikmati nasi kebuli itu. Dan, minumannya diracik oleh santri-santri putri di dapur. Persiapannya sudah dimulai sejak pagi tadi. Tapi, aku tidak bergabung sama sekali dengan mereka sampai sore ini. Aku diminta ummik tetap di ndalem, menikmati lalu lalang santri yang ikut menyibukkan diri mempersiapkan semuanya. Padahal, para santri tidak tahu menahu akan ada acara apa. Ning Ulya diminta untuk tidak bercerita apa-apa.

Malam yang telah dijanjikan pun tiba. Halaman pesantren berubah ramai dan terang benderang. Tak mewah memang. Tak kelihatan formal. Mereka tahu ini bukan acara besar. Tak ada banner. Hanya ada tirai putih yang dihiasi beberapa bunga menggelantung sampai ke bawah. Di empat sudut mimbar juga telah dipasang bunga-bunga hidup. Lalu, di depan kue dan buah-bahan untuk keluarga ndalem juga disiapkan wewangian bukhur yang telah dibakar dalam prapent. Jika majelis dipenuhi dengan aroma wangi, diharapkan nantinya malaikat turut hadir menyaksikannya.

Halaman dibelah menjadi dua. Sisi kiri diisi kelompok santri putri dan kanan dipenuhi santri putra. Mereka sudah memenuhi halaman pesantren sambil menikmati tabuh rebana para santri yang ada di mimbar. Mereka tentu riang gembira saat pesantren ramai ada acara. Karena mereka dibebaskan dari kegiatan yang kadangkala membuat mereka terlalu jenuh. Tapi, aku ripuh meredam debar jantung yang kian membahana di rongga dada. Seharusnya irama rebana turut membuatku bahagia. Kedatangan Kiai Ammar sekalian, calon besan ummik dan Kiai Abad sekalian, orang tua Yazeed. Kukira Kiai Abad hanya datang berdua. Tapi, ternyata Yazeed turun dari mobil, lalu menduduki kursi roda. Kang Toyo yang membantunya sampai ke barisan kami yang menyambut tamu.

"Yaz?" Aku memanggil lirih. Hampir mencicit.

Yazeed tersenyum. Ada apa dengan senyumannya itu? Wajahnya masih terlalu pucat untuk mengikuti acara ini sampai larut malam nanti. Kenapa dia memaksakan diri? Aku mendekati Kang Toyo. Aku berbisik.

"Kang, memang sudah boleh keluar dari rumah sakit?"

"Belum. Gusnya maksa."

"Ya ampun. Gimana to?"

"Biasa, Mbak. Kalau punya keinginan Gusnya memang gitu orangnya."

"Ya udah hati-hati, ya. Nanti njenengan ikut saja ke atas di samping Yazeed."

"Oke, Mbak."

Kami semua sudah berada di mimbar. Kecuali ibuku, Ayah Kabi, dan Mama Syawa yang dipersilakan duduk di kursi yang membelakangi santri. Sebetulnya aku memilih duduk di sebelah ibuku, tapi ummik memintaku dan ibuku juga menyuruh agar menuruti permintaan ummik. Sesekali aku mengedarkan pandangan. Apa mungkin mereka berpikir, kenapa mbak ndalem diminta duduk di sebelah bu nyai sedangkan Mbak Ufi tidak? Juga mbak ndalem yang diminta memakai gamis mahal dan indah. Aku yakin mereka berpikiran begitu.

Tibalah pada acara inti. Gus Fakhar mengambil mikrofon, sedangkan aku berusaha tenang. Aku tersenyum tipis ketika ummik menoleh ke arahku mengajakku tersenyum lebih leluasa. Kupandangi ibuku juga sama sepertiku, tak bisa melepas senyum lebar. Tapi, Mama Syawa dari tadi tak berhenti memperlihatkan senyum karena menanti penobatan ini disiarkan kepada seluruh penghuni pesantren.

"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Allahummahi wakafa, washshalatu wassalamu 'alan nabiyyil mustafa, wa' ala alihi washahbihi wamal wafa." Mukaddimah disampaikan beserta ungkapan rasa syukur dan salawat kepada Baginda Nabi.

Lihat selengkapnya