*POV Yazeed Akiki Mubarak
Aku memang memaksa agar bisa segera pulang. Aku memilih perawatan di rumah. Dokter memberikan persetujuan walau sebetulnya aku baru diperbolehkan pulang tiga sampai empat hari lagi. Aku tidak masalah. Aku sendiri sudah merasa sehat. Ketika aku mendengar abah dan ummi mendapatkan undangan acara syukuran di Al-Furqan, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan Fizah. Melanjutkan percakapan yang sempat tertunda.
Awalnya aku tidak tahu acara itu diadakan dalam rangka hajat apa. Kami hanya diberitahu dan sangat diharapkan supaya bisa menghadiri. Lalu, malam ini aku mendapatkan kenyataan yang sungguh di luar dugaanku. Aku bersalawat. Lagi dan lagi. Aku tidak perlu bingung lagi ingin mencari dimana orang tua Fizah. Karena sesungguhnya orang tuanya sudah sering aku temui. Dibalik keberaniannya sebagai seorang perempuan, ternyata keberanian itu menitis dari darah Kiai Bahar, kiai yang dihormati banyak orang. Kiai tersohor di wilayah Jawa Timur ini. Artinya, semua yang telah terjadi pada dirinya itu adalah ujiannya sebagai penerus pesantren Al-Furqan. Tuhan tentunya sudah menyetarakan antara keimanan dengan ujian hidup seseorang. Maka, aku tidak salah jika sudah menaruh hati padanya. Aku juga semakin yakin saat ingin segera melamar Fizah di depan orang tuanya. Bismillah.
Meski tangis itu berderai-derai, suara itu mengalun merdu di telingaku. Suara sumbang itu tersulap menjadi suara paling indah yang pernah kudengar. Saking dalamnya sedih dan simbah air mata yang telah mengucur, dia berhenti menyanyi di nada tinggi. Aku tak bisa memalingkan pandanganku darinya. Semuanya yang ada pada dirinya tampak begitu sempurna, dari kecantikan dan kemampuannya dalam bernyanyi. Di luar itu, dia mempunyai pesona yang baru kusadari malam ini. Bisa jadi itu karena aku baru mengerti dia bukan gadis biasa.
Suasana pecah ketika dia berhasil menyelesaikan lagu itu. Tidak ada yang tidak menangis. Santri-santri ikut merasakan suka dan duka yang membaur menjadi satu di bawah tenda ini. Bisa jadi mereka akhirnya terngiang-ngiang orang tua mereka di rumah. Isak yang saling bersahutan menjadi bukti bahwa dia bisa membuat orang lain mendalami perasaannya. Di menit selanjutnya, dia mengutarakan banyak hal. Dia menyimpulkan semua isi hatinya dengan kalimat yang dapat aku rangkum menjadi tiga kata, dia sangat bersedih.
Acara selesai, makanan pun dibagikan. Yang berada di mimbar digiring ke ndalem atas bimbingan salah satu santri putra yang langsung mengarahkan kami ke ruang tamu. Di sana telah disediakan beberapa menu andalan dan menu istimewa.
Kulirik Fizah yang sedang menggamit lengan Bu Mini. Kelihatannya dia benar-benar belum siap dengan perpisahannya. Bahkan, dia sendiri tampak tak peduli dengan Bu Nyai Ridhaa, ibu kandungnya sendiri. Maklum. Dia dibesarkan oleh tangan-tangan sederhana. Dengan cinta kasih yang tidak kurang sedikit pun.
"Cirose kok nembe medal rumah sakit, Mas?" tanya bu nyai.
Terjemah: (Katanya kok baru keluar rumah sakit, Mas?)
"Iya. Sekarang sudah sehat."
"Monggo, Yi," ujar Kiai Bahar mempersilakan abah.
"Nduk Tsaniya nyuwun maem nopo?"
Terjemah: (Nduk Tsaniya minta makan apa?)
"Mboten, Bah." Dia menggeleng.
"Makan, Zah."
Dia menggeleng lagi.
"Tsaniya Tabriz, Mas." Bu Nyai Ridhaa mengingatkan.
"Oh, ngapunten belum terbiasa."
"Yaz, kok kamu sudah keluar rumah sakit? Apa beneran sudah sehat?"
"Yaz, makan dulu." Ummi menyenggol lenganku.
"Belum bisa makan yang berat-berat, Mi."
"Ya Salam, Ummi lupa. Ya sudah makan apa saja itu yang sekiranya bisa kamu makan."