*POV Tsaniya Tabriz
Yazeed dan orang tuanya pamit pulang sekitar sejam yang lalu. Pesantren mulai diliputi keheningan. Tabuh rebana sudah rampung setelah semua santri membubarkan diri. Hanya tersisa dentingan sendok bersentuhan dengan piring. Beberapa santri yang sibuk dadi awal hingga selesainya acara ini menyantap makanan belakangan. Juga para penabuh rebana yang tidak sempat makan karena saat semua santri dipersilakan menyantap menu, mereka justru mengiringi acara ramah tamah dengan suguhan lima lagu.
Masih tak sanggup aku menyambut esok hari. Dimana itu akan menjadi hari terakhirku bertemu dengan ibuku sebagai putri yang telah dibesarkannnya. Karena semenjak aku telah dinobatkan kembali sebagai putri asli dari pesantren Al-Furqan ini, namaku bukan lagi Ranaa Hafizah, melainkan Tsaniya Tabriz.
Kami masih berkumpul di ruang tamu. Masih dengan personil yang lengkap. Juga dengan posisi duduk yang tidak berubah. Selanjutnya, abah dan ummik pasti akan membahas soal lamaran Yazeed yang diulang untuk kedua kalinya ini. Yang keduanya, dia menyatakannya langsung di depan orang tua kandungku. Aku sangat menghargai niat tulusnya. Aku bahagia menyambut itu. Tapi, sepertinya tidak semudah itu aku akan bersatu dengan Yazeed, baik karena latar belakang dia yang pernah menikah tiga kali atau ummik yang pernah menjodohkanku dengan Pak Nizam.
Dulu aku abai sebab aku bukan Tsaniya. Tapi, saat setelah Tsaniya itu kembali dalam wujud Ranaa, aku gusar mendengarkan permintaan abah yang meminta agar diberikan waktu untuk menjawab lamaran Yazeed. Jika lamaran itu diterima, tak mungkin abah menangguhkannya. Abah tahu persis siapa Kiai Abad dan istrinya. Apalagi, Yazeed sendiri yang kerap ke sini berurusan dengan Bang Fakhar.
"Bah, pripun niki?" (Bah, bagaimana ini?)
"Piye, Le?" Abah bertanya pada Bang Fakhar.
"Kalau dia sanggup, nggeh kalau saya terserah njenengan saja, Bah. Tapi, Bah, kalau saya pengen banget kuliah bareng Tsaniya."
"Kuliah yo apalan ngono to maksudmu?"
Terjemah: (Kuliah juga hafalan begitu maksudmu?)
"Nggeh, Bah. Lha Ummik mesti setuju juga, kan?"
Aku hanya bisa mendengarkan mereka saling berembuk. Ibuk menyuruhku agar tetap tenang.
"Lek Ummik piye yo...Ngeten, Bah, lha Ummik niko, kan, sampun pernah matur to teng njenengan. Ummik niku sampun srek kaleh santrine njenengan namine Nizam niko, lo."
Terjemah: (Kalah Ummik gimana ya... Begini, Bah, lha Ummik itu, kan, sudah pernah bilang ke Abah. Ummik itu sudah cocok dengan santrinya Abah yang namanya Nizam itu lo)
"Senduk nolak ngono. Pripun, Nduk Tsan?"
Terjemah: (Senduk menolak gitu. Bagaimana, Nduk Tsan?) Abah menatapku.
Sejujurnya aku belum bisa memutuskan apa-apa.
"Jujur ae, Nduk!" pinta ibuku. Dia berbisik.
Bang Fakhar juga menyuruhku bicara dengan tatapannya.
"Nggeh saya dulu memang menolaknya, Bah."
"Tapi, sakjane lek menurut Abah yo Nizam iku apik. Tapi, Abah yo ndak mekso, Nduk. Lawong yo jodo orane ki panggah kersane Gusti Pengeran."
Terjemah: (Tapi, sebenarnya kalau menurut Abah ya Nizam itu baik. Tapi, Abah ya tidak memaksa, Nduk. Lawong ya jodoh atau tidaknya itu tetap atas izin Allah)
"Berarti Abah manut Ummik ngoten?"
"Ndak ngono, Mik. Lek Yazeed iku Abah yo ndak begitu masalahne. Nanging lek dibanding Nizam, Abah demen karo Nizam. Nyapo ngono? Yazeed maeng, deweke matur Tsaniya arepe diboyong neng Darul Amin. Lha upomo lek karo Nizam, Nizam iso ra iso yo diboyong rene. Melu open-open santri kene, Mik. Cocok opo ora? Abah ndak masalahne statuse Nizam sing uduk anak kiai. Pokok agomone mantep, wis jejeg, Abah wis col."
Terjemah: (Tidak seperti itu, Mik. Kalau Yazeed itu Abah ya tidak begitu mempermasalahkan. Tapi kalau dibanding Nizam, Abah suka dengan dia. Kenapa begitu? Yazeed tadi, dia bilang Tsaniya akan diboyong ke Darul Amin. Lha seumpama dengan Nizam, Nizam harus diboyong ke sini. Ikut mengurusi santri-santri sini, Mik. Cocok apa ndak? Abah tidak mempermasalahkan status Nizam yang bukan anak kiai. Pokok agamanya mantep, sudah kuat, Abah sudah lepas)
"Abah, aku setuju." Bang Fakhar yang pernah bilang ingin mengajakku kuliah di luar negeri pasti jelas sangat mendukung pertimbangan abah. Karena itu juga akan memudahkan bagiku dan dia berangkat kuliah. Masih dalam perkiraan seandainya wacana kuliah itu disetujui abah dan ummik.
"Piye, Nduk?" Ummik memastikan aku juga turut mempertimbangkan itu. Setelah, kupikir-pikir pertimbangan abah memang benar. Yazeed anak tunggal juga seorang pria. Pasti dia jauh lebih berhak untuk membawaku ke rumahnya. Sedangkan, bagi orang tuaku justru sebaliknya. Ternyata begitu cara pandang abah untuk menentukan masa depan anak putrinya ini.
"Nak, Umik dan Abahmu baru ketemu sampeyan, Nak. Apa sampeyan tego meninggalkan mereka?"