Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #150

Siap Mengabdi

*POV Tsaniya Tabriz


Keesokan harinya.


Aku kembali tersedu-sedu. Aku tidak bisa melepaskan tangan ibuk hingga aku memilih menjatuhkan diri ke lantai teras. Persis seperti anak kecil yang merengek-rengek. Kupikir usia tujuh belas tahunku masih akan dimaklumi jika aku bersikap seperti ini. Entahlah. Aku hanya ingin mengulur waktu. Tapi, ibuku bilang sudah harus pulang. Ibuku sudah bersiap-siap. Semua barang sudah dimasukkan ke mobil. Kang Bimo juga sudah siap mengantarkan ibuku sampai rumah. Aku tidak tahan. Kenapa perpisahan ini begitu menyakitkan? Tapi, ibuku kembali mengatakan bahwa perpisahan ummik denganku tujuh belas tahun yang lalu pasti lebih menyakitkan daripada ini. Katanya, aku harus legowo. Aku harus bisa menghadapi apa pun yang akan terjadi setelah ibuku pergi, orang yang juga menyimpan rahasia masa laluku.


"Nak, nyuwun tulung yo sampeyan yang kerasan di sini. Mungkin setelah ini akan ada jawaban dari semua kegelisahanmu, Nak. Percayalah! Percoyo, Nak, kabeh iki wis dadi kersane Gusti (percaya, Nak, semua ini sudah menjadi kehendak Allah)." Lalu, ibuku memeluk. Mencium kepalaku. Pipiku diuyel-uyel.


Aku tak bisa mencerna sebagian kata ibuku. Aku abaikan itu. Ibuku menyuruhku berdiri.


Semua orang menyampaikan salam perpisahan dan kata terima kasih. Sekali lagi aku memeluk ibuk. Kucium punggung tangannya.


"Doane Ibuk ndak putus. Jangan gelisah, yo."


Aku mengangguk. Kuusap wajahku yang basah dengan kerudungku.


Ibuk masuk mobil. Menatapku lama sambil berkaca-kaca. Juga tersenyum semringah yang dibuat-buat. Ketika mobil melaju pelan-pelan, tangan ibuk seketika melambai.


"Ibuuuuuk? Ya Allah, Buuuuuuk." Ummik langsung menyongsong tubuhku dari belakang. Tubuhku mendadak kaku. Aku ingin memeluk ummik, tapi tak bisa. Maka, ummik dululah yang melakukannya sampai aku merasakan kehangatan pelukan seorang ibu, ibu kandungku.


"Iki yo Ibuk lo, Nduk. Iki Ummikmu. Ummik yo gati sampeyan."

Terjemah: (Ini juga Ibuk lo, Nduk. Ini Ummikmu. Ummik juga sayang kamu)


Aku terbujur kaku di pelukan ummik. Setelah mobil itu menghilang dari gerbang pesantren, sudah menyeberang jalan, ummik menggiringku masuk. Ummik berbisik supaya aku menghapus air mataku. Ummik juga berkata aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan di pesantren ini. Entah itu sekadar kata penenang atau memang janji yang akan ummik tepati.


Mobil lain datang mendesis. Aku, ummik, dan abah menoleh bersamaan. Kupikir siapa mereka. Ummik berseru riang, menoleh pada abah sambil berkata, "Loh, Bah, kok dugine gelis men?"

Terjemah: (Loh, Bah, kok datangnya cepat sekali?)


"Nduk, yang semringah yo."


Sepertinya aku kenal dengan mobil itu. Tapi, aku belum bisa menebak sampai dua orang keluar dari sana. Kenapa di usia sebelia ini aku sudah berurusan dengan masa lalu yang menyedihkan dan jodoh yang terasa sudah semakin dekat? Duhai Tuhanku, seperti yang sudah dikatakan ibuk padaku. Ini sudah yang terbaik untukku. Ujian untuk mendewasanku.


Pak Nizam dan ibunya disambut dengan senyum lebar ummik. Tadi pagi abah sempat bilang untuk menyuruh Bang Fakhar agar tidak meminta Pak Nizam ke sini dulu, karena kata ummik, semalam ketika tahajud abah mau memantapkan dulu dengan salat istikharah. Tapi, kenapa dia malah sudah datang sekalian dengan ibunya? Ini kebetulan. Seakan-akan dia tahu bahwa abah dan ummik tengah memintanya.

Lihat selengkapnya