*POV Ibban Nizami
"Le, kamu apa paham gimana maksudnya Kiaimu tadi?"
"Kurang paham."
Ibuk diam sejenak.
"Opo maksudnya Kiaimu tadi, kamu direstui menikahi dengan Fizah to, Le?"
"Lhah, nggeh mboten (ya tidak). Kan, aku belum ngomong apa-apa, Buk, ke Abah. Tidak mungkin, Buk. Wali Fizah bukan keluarga ndalem. Mana bisa Abah memberi restu."
"Maksud Ibuk yo semisal direstui, nanti Kiaimu jelas jadi perantaranya to."
Kukira Abah Bahar akan menceritakan kepadaku sesuatu. Kami justru diundang ke pernikahan Gus Fakhar. Undangan khusus. Kedatangan kami sangat diharapkan karena setelah itu Abah Bahar akan menyambung percakapan tadi.
"Kurang tahu, Buk. Ya dilihat nanti aja gimana. Kadung mengira-ngira, lhah ternyata nggak seperti dugaan."
"Yo wis sembarang. Tapi, kamu sudah yakin bener sama Fizah itu?"
"Insyaallah sudah, Buk. Sebetulnya aku menyukai Fizah sejak lama. Di satu sisi, aku ingin mengenal Fizah lebih jauh, Buk. Ada banyak hal yang ingin aku ketahui dari dia."
"Tapi, ndak terlalu muda kan, Le?"
"Masalah muda enggaknya itu nggak pengaruh. Tinggal bagaimana cara berpikirnya. Buk, selagi Ibuk sudah ikhlas pasrah ke Nizam, aku berangkat sepenuhnya. Tapi, kalau Ibuk malah masih ragu, aku akan pikir-pikir lagi, Buk."
"Ojo, Le. Sudah Ibuk sembarang. Daripada nanti-nanti. Kamu sudah pantes jadi Bapak. Ibuk sudah rido."
Telepon masuk.
📞 "Ya. Kenapa?"
📞"Siapa nanti yang jadi wali nikahnya Ratna?"
📞"Ya nggak tahu."
📞"Serius nggak tahu, Mas?"
📞"Eh, sebentar. Ada apa? Ini nggak ada mukadimahnya?"