*POV Tsaniya Tabriz
Tak ada pembicaraan apa pun setelah kedatangan Pak Nizam. Abah dan ummik bersikap biasanya. Begitu juga Bang Fakhar. Mungkin saja abah dan ummik sedang berunding tanpa harus melibatkan aku. Beginilah takdir anak perempuan yang tidak memiliki keleluasaan untuk memilih. Meski aku menyandang gelar yang sah, tapi itu tak membuatku juga bisa menyampaikan keinginan hati. Semringahnya ummik dan kemantapan abah mengurungkan semua niatku. Aku tidak tega mengkandaskannya.
Malam ini aku duduk di depan musala yang berbentuk pendopo. Kusandarkan kepalaku di pundak Bang Bakhar.
"Bang?"
"Apa, Dek?"
"Apa kalau aku membiarkan Abah dan Ummik tetap berupaya menjodohkanku dengan Pak Nizam, apa itu artinya aku sudah berbakti pada mereka?"
"Dek, nanti kamu akan paham sendiri. Alasan dibalik perjodohan ini."
"Maksudnya, Bang?"
"Sekarang belum waktunya kamu mengerti. Sabar aja. Aku juga baru tahu kok. Tapi, yang jelas Abah dan Ummik juga tidak mengira."
"Loh, katanya dijodohkan kok nggak ngira itu gimana to, Bang?"
"Kamu akan paham sendiri nanti."
"Tapi kamu sudah paham semuanya, kan, Bang?"
"Sudah. Tapi, mandat Abah gitu. Intinya sabar."
"Jadi anak kiai apa emang mesti begini?"
"Begini gimana?" Bang Fakhar menoleh. Otomatis aku mengangkat kepalaku.
"Tidak bisa menentukan sendiri."
"Bisa. Bisa banget malah. Kan aku sudah bilang. Nanti kita usahakan gimana caranya biar bisa kuliah bareng-bareng."
"Meskipun nanti kalau Abah memutuskan sepihak aku akan dinikahkan secepatnya?"
"Percaya sama Abah, ya. Abah tahu apa yang kamu mau."
"Bang, terus gimana Yazeed? Kalau dia tersinggung Abah menolak lamaran itu karena Pak Nizam gimana?"
"Itu urusan Abah dan Ummik. Kalau pun mereka dianggap sebagai kedua orang yang sama-sama berhak, tapi setelah ditimbang dan melihat sejarah yang lalu, ternyata Kang Nizam lebih berhak."
"Aku nggak ngerti."
"Karena kamu mikirin Yazeed?"
Aku mengangguk. "Dia bilang suka sama aku, Bang. Bang, antarkan aku biar bisa ketemuan sama dia, ya. Aku mau ngobrol."
"Diantar Kang Bimo aja gimana?"
"Apa boleh?"
"Boleh. Kang Bimo bisa dipercaya. Abang ada pertemuan dengan klien. Mau ngurus stok kitab di toko juga. Nggak apa-apa, kan?"
"Iya nggak papa."