*POV Tsaniya TabrizΒ
Sampai di Telaga Sarangan, aku meminta Kang Bimo agar tetap mengikutiku dari belakang. Aku mencari di mana Yazeed, tapi belum bisa menemukannya.
"Kang, punya nomornya Yazeed?"
"Sebentar saya cek. Pernah punya tapi belum saya save. Mungkin masih ada."
Kami berhenti di tengah keramaian. Pasarnya sudah ramai. Para wisatawan memborong jajan dan pakaian. Anak-anak kecil dipegang erat-erat oleh ibunya sambil memegang mainan yang dijual bapak sepuh di sisi kananku. Lalu, di antara mereka ada yang merengek meminta naik kuda. Aku memutarkan pandangan ke segala arah.
"Ini, Ning. Video call."
"Oh." Aku kaget. Sudah tersambung.
π"Di mana kamu?"
π"Ini di tengah-tengah."
π"Aku di depan patung wayang gunung. Aku mau ke situ, ya. Bentar."
π"Aku aja yang ke situ." Kuberikan
Aku mendekat ke sana. Sembari menyusup di antara lalu lalang yang tiba-tiba menyembul dari arah depanku. Beberapa kali pundakku tersenggol kasar. Aku fokus ke arah depan.
Kulihat dia sedang duduk merokok di depan patung. Tak kudapati Kang Toyo. Seharusnya ada yang mendampinginya karena kesehatannya jelas belum pulih betul.
"Yaz?"
Dia tersenyum. Memandangku beberapa detik tanpa berkedip.
"Duduk sini dulu, Briz."
Aku menatapnya pula. Memberikan isyarat.
"Kang, tolong tinggalkan kami berdua, ya. Tapi, nggak usah jauh-jauh."
Kang Bimo mengangguk.
Kami diam beberapa detik. Entah kenapa tiba-tiba suasananya amat canggung. Kubuang pandanganku ke sudut kiriku. Perasaanku pun berbeda. Menyembur debar dari pusat jantungku. Kubasahi bibirku yang sebenarnya tidak kering.
"Mau naik perahu?"
Aku menoleh. Dengan menatapnya saja aku tidak leluasa. Dadaku dipenuhi gemuruh yang memburu.
"Boleh, tapi jangan lama-lama, Yaz."
Dia tersenyum lagi. Sejak dia mengutarakan isi harinya, dia menjadi lebih semringah. Dan aku baru menyadari penampilannya yang berbeda. Tapi, aku tidak berani menyinggung itu.
"Naik kuda atau perahu?"
"Aku nggak bisa naik kuda."
"Aku bisa."
"Enggaklah, Yaz."
"Mas, Mas, kudanya ada yang sewa nggak?"
Pria itu yang kebetulan berpapasan mata mendekat sembari menarik kudanya.
"Kalau nggak ada, aku sewa untuk satu orang."
"Yaz, nggak usah. Lagipula masak cuma aku yang naik kudanya."
Yazeed tidak menghiraukan perkataanku. Dia langsung menyuruhku naik. Dia bersiap membantu agar sampai di punggung kudanya.
"Nggak usah, Yaz." Aku mencubit lengannya.
"Naik aja nggak apa-apa."
"Mas, biar aku yang nuntun kudanya. Aku bisa."
"Oke."
Pria itu kembali ke pangkalan. Bergumul dengan yang lainnya.