*POV Tsaniya Tabriz
Aku berusaha untuk tidak menghitung waktu yang terus berjalan. Hitungan menit berputar menjadi jam sampai tiba pada detik-detik abahku menyampaikan sesuatu. Mikrofon itu diberikan pelan-pelan kepada abahku yang sudah berdiri menggantikan posisi kang santri yang membawakan acara. Hanya ummik dan Bang Fakhar yang tahu abah akan menyampaikan apa. Aku di sini sebatas pendengar saja.
Kutoleh orang-orang yang berada di belakangku. Mula-mula aku menubruk wajah Yazeed yang tengah menatapku serius. Tapi, pandanganku tertarik seketika pada seseorang yang kutunggu sejak tadi. Dia duduk di kursi paling belakang. Mungkin dia datang di tengah acara. Padahal, sebetulnya dia sudah mendapatkan kursi khusus di barisan kedua.
Pak Nizam menatap sumber suara. Suara abah menarik semua perhatian. Menyadap suara-suara yang lain sehingga hanya suara abahlah yang terdengar paling nyaring.
"Pak, kenapa dulu kamu harus mengataiku seperti itu? Jika takdir kita memang bersatu, kenapa ada celah dimana aku punya alasan untuk tidak menginginmu lagi? Kenapa, Ya Allah? Seberapa besar rasa bersalahmu? Apa yang bisa membuatku yakin jika di masa depan nanti, justru kamulah yang menjadi sumber kekuatanku? Gustiiiii," batinku.
Mukaddimah abah membuatku semakin bisa mendengar bunyi detak jantungku. Fokus mataku terkunci pada setiap kata yang keluar darinya. Lalu, tiba-tiba abah melambaiku. Ummik di sampingku menyuruhku ke depan sesuai dengan perintah abah. Tingkahku menjadi kaku. Aku hanya tidak percaya diri. Tidak ada yang mengenalku. Kupastikan aku telah berjalan dan memakai pakaian yang pantas. Aku diam sejenak. Saat abah mengangguk, aku mulai berjalan pelan-pelan.
"Alhamdulillah. Malam ini saya ingin memberikan kabar bahagia untuk panjenengan semuanya. Alhamdulillah dan alhamdulillaaaaah, pada jam ini saya mengharapkan doa dan restu, serta kesaksian. Saya meminta Ibban Nizami agar ke depan terlebih dahulu. Monggo, Mas!"
Aku pun melihat ekspresi yang senada di wajahnya. Tapi, dia tak secanggung diriku. Pak Nizam melangkah pasti dengan sedikit menunduk melewati orang-orang yang serempak menoleh ke arahnya.
Abah pun melanjutkan kalimatnya setelah Pak Nizam berada di sebelah kanan abah. "Insyaallah saya akan menikahkan mereka berdua."
Kutatap abah sedalam-dalamnya. Walau aku ingin mengatakan tidak, tapi aku berusaha tetap menciptakan senyum. Seindah mungkin sampai orang lain tidak bisa menerka gurat kesedihan di mataku. Kucium punggung tangan abah. Lalu, Pak Nizam melakukannya pula. Lebih lama dari kecupanku.
"Anak kedua saya Tsaniya Tabriz dengan Ibban Nizami. Saya mohon doa restunya, nggeh. Dan, insyaallah akan ada undangan pernikahan kedua yang akan kami haturkan pada panjenengan semuanya di lain waktu."
Abah mengeluarkan sebuah keris cilik dari jasnya. Patrem milik Pak Nizam. Beliau mengangsurkannya padaku. Kutadahkan tangan kananku sembari mempertanyakan satu hal, ada apa dengan keris ini?
Masih kupandangi keris itu. Lantas kutatap yang dulu pertama mengenalkannya padaku. Keris dan Pak Nizam, di antara mereka seperti ada rahasia. Kenapa mata dan wajahnya sangat tenang? Tidakkah dia merasakan hal sama denganku? Apakah di antara abah dan Pak Nizam pernah terikat perjanjian di masa lampau? Rasanya itu lebih tidak mungkin lagi.
"Keris Nyai Sekar Wangi iki saiki dadi duwekmu, Nduk!"