Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #157

Pesan Kiai Sholeh

*POV Tsaniya Tabriz


Aku mendapati wajah semrawutnya dibawa pamit pulang. Antara cemburu, kecewa, dan memaklumi. Andaikata aku punya kuasa untuk menolak, akan kuperjuangkan cintaku pada Yazeed sampai ke pelaminan. Namun, apalah dayaku di sini. Status, kebahagian abah dan ummik, juga harapan ibuku membuatku tak memiliki banyak peluang untuk menolak. Ini tentang birrul walidain kepada dua orang tua yang tidak dapat aku hindari. Tentang kewajiban seorang anak menuruti kemauan orang tuanya dan tugas santri mengamalkan apa yang pernah dipelajarinya. Masa laluku sudah buruk, lalu apa jadinya bila aku pun dikenal para santri sebagai anak yang tak patuh dan memberi citra buruk orang tuanya? Walaupun semua itu harus kubayar dengan kemasygulan hati. Cintaku tak sampai pada pemiliknya. Maafkan aku, Yazeed. Beribu maaf aku tak bisa melanjutkan semuanya. Mungkin memang bukan aku perempuan yang pantas menggenggam cintamu. Kupandangi dia yang sudah melenggang pergi dengan mobil nya.


Keesokan harinya. Subuhku disambut oleh suara Pak Nizam sedang mengajikan kitab Fathul Izar. Aku tak tahu kitab apa itu. Tapi, dia begitu fasih membaca setiap arab gundulnya dan memaknainya dengan bahasa jawa. Begitu juga penjelasannya tentang rumah tangga walau dia masih bujang.


Aku berdiri mematung di tengah pintu. Menyandarkan kepala ke sisi kiriku. Beberapa ayat kurapalkan lirih. Desir angin pagi membelai wajahku mesra. Setengah kutahan rasa kantukku. Tak ada kegiatan pagi ini. Masih libur sampai esok hari. Suara Pak Nizam terus memasuki lorong telingaku. Kupikir akan lebih nyaman jika aku duduk di kursi. Kududukkan pantatku ke kursi anhaman rotan. Kuhela napas panjang.


Ketika suaranya berhenti sejenak, sepi pun mengambil alih. Pengantin baru belum keluar dari kamar sejak azan subuh tadi. Entah apa yang mereka lakukan. Abah berzikir di ruang pasalatan, sedangkan ummik murajaah hafalan di kamar. Mbak Ufi langsung pamit pulang setelah tahajud tadi. Dijemput pamannya naik mobil sewaan karena rumahnya juga tak begitu jauh. Lagu ini juga tak perlu repot-repot memasak, sisa makanan tadi malam masih sangat cukup kalaupun dimakan sampai besok. Tadi sudah kuhangatkan semuanya. Pun sudah kusiapkan nasinya, tinggal menunggu matang di magic jar.


"Nduk?" Abah mangegetkanku. Beliau menyentuh pundak kananku. Lantas duduk bersebelahan denganku.


"Dalem, Bah."


"Kabeh kerono hasil istikharah Abah, Nduk. Sampeyan ikhlas?"

Terjemah: (Semua karena hasil istikharah Abah, Nduk. Kamu ikhlas?)


"Insyaallah, Bah." Tak mungkin aku mengatakan tidak.


"Bah, tapi kenapa njenengan bisa tahu nama keris ini?"


"Abah oleh isyarah."


"Berarti Abah sudah yakin kalau Pak Nizam jodohnya Niya?"


"Nizam saguh ngabdi, Nduk. Abah ndak pengen sampeyan ninggalno pesantren iki."

Terjemah: (Nizam saguh ngabdi, Nduk. Abah ndak pengen kamu meninggalkan pesantren ini)


"Abah yakin Pak Nizam orang yang benar-benar baik?"


"Insyaallah, Nduk. Mbiyen Simbahmu Kiai Soleh pernah ngomong neng Abah, mbesok jodohe salah siji anakmu kui enek sing duwe keris."

Terjemah: (Insyaallah, Nduk. Dulu Simbahmu Kiai Soleh pernah ngomong pada Abah, suatu saat jodohnya salah satu anakmu itu ada yang mempunyai keris)


"Jadi, masa depanku telah ditebak sejak dulu, Bah?"


"Simbahmu duduk uwong sembarangan, Nduk. Sing ikhlas yo. Nduk, insyaallah Abah yakin yo kui lo jodone sampeyan. Ummikmu bener ket awal. Ummikmu tanpo ngerti pesene Simbahmu, Ummikmu njodohne sampeyan karo Nizam."

Terjemah: (Simbahmu bukan orang sembarangan, Nduk. Yang ikhlas ya. Nduk, insyaallah Abah yakin ya itulah jodohmu. Ummikmu benar sejak awal. Ummikmu tanpa tahu pesannya Simbahmu, Ummikmu menjodohkanmu dengan Nizam)


Apakah Kiai Soleh menurunkan sebagian kesaktiannya padaku? Aku masih ingat persis bagaimana aku pernah lolos dari malam-malam di gurun panas itu. Mereka seperti tiba-tiba mati mendadak di depanku. Tapi, itu juga bisa karena tirakat abah dan ummik yang diperuntukkan kepadaku.


"Iki duduk kebetulan. Gusti Pangeran wis ngatur kabeh." Abah mencari posisi yang lebih nyaman.

Terjemah: (Ini bukan kebetulan. Allah sudah mengatur semuanya)


Lima belas menit berlalu. Langit semburat biru. Daun-daun mangga di luar pagar pesantren tampak berguguran beberapa di antaranya.


"Sampeyan rungokne (kamu dengarkan), Nduk!"


"Haaa?"


Abah diam. Dan, aku lekas menyadari bahwa abah tengah mengungkap kepuasannya setelah mencermati apa yang disampaikan Pak Nizam kepada santri-santri putra.


Lihat selengkapnya