*POV Tsaniya Tabriz
Kulihat Bang Fakhar bermesra dengan Kak Ulya. Benar kata abah, mana mungkin Bang Fakhar akan meninggalkan Kak Ulya kalau ba'da isya saja mereka sudah ke peraduan malam. Dulu Bang Fakhar berkata akan menemaniku kuliah di luar negeri, itu karena dia belum merasakan cinta bersama Kak Ulya. Wajah-wajah bahagia itu berseri ketika tengah diperhatikan lebih dalam. Dan, beberapa hari lagi kudengar mereka berencana akan bulan madu ke Bali atau Papua. Kalau memungkinkan mereka ke Raja Ampat, mereka akan ke sana karena itu pilihan pertama.
Ummik mendekatiku yang tengah memeluk Alquran sembari melamun di pojokan ruang tamu.
"Kok lemes? Durung maem (belum makan)?" Ummik tersenyum.
Aku menggeleng.
"Maem sing akeh bene lemu, Nduk. Mbesok lek pas rabi bene ketoro ginuk-ginuk. Tapi, saiki fokus ngaji disek yo. Pirang-pirang dino Ummik ngrasakne apalane sampeyan tambah penak, kok Ummik miker ngene...luweh becik yen rabimu nunggu rampung apalan ae yo, Nduk. Ummik mesakne sampeyan. Pripun?"
Terjemah: (Makan yang banyak biar gemuk, Nduk. Nanti kalau kamu menikah biar kelihatan ginuk-ginuk. Tapi, sekarang fokus ngaji dulu, ya. Beberapa hari Ummik rasa hafalanmu tambah lancar, kok Ummik mikir begini...lebih baik kalau pernikahanmu menunggu khatam hafalan saja, ya, Nduk. Ummik kasihan sama kamu bagaimana?)
Justru inilah yang ingin aku dengar. Resahku lenyap seketika. Kupeluk ummik.
"Sembah nuwun, Mik." Aku sungguh lega. Napasku lolos dengan leluasa.
"Jadi, Ummik akan membicarakan ini dengan Pak Nizam kan?"
"Tapi, sampeyan opo sanggup ngrampungne mung setahun setengah?"
Terjemah: (Tapi, apa kamu sanggup mengkhatamkan hanya satu setengah tahun?)
"Satu setengah tahun, Mik?" Aku tak begitu yakin. Kedengarannya itu terlalu cepat.
"Ummik mbiyen (dulu) setahun rampung, Nduk."
"Niya belum tahu bisa apa tidak."
"Yen targete dicepetne, sampeyan iso luweh semangat. Tambah greget. Iso cak cek."
Terjemah: (Kalau targetnya dipercepat, kamu bisa lebih semangat. Tambah gereget. Bisa cepat)
Aku mengangguk tidak yakin. Setidaknya aku akan mencobanya dulu. Setidaknya aku juga tidak akan langsung menikah dengan Pak Nizam. Aku bsia mengulur waktu seperti Bang Fakhar mengulur hari pernikahannya.
"Mengko Ummik tak omong-omongan karo Mas Nizam."
Terjemah: (Nanti Ummik bicarakan dengan Mas Nizam)
"Mik, apa Niya memang tidak bisa kuliah di luar negeri?"
"Abah dhawuh pripun (bilang bagaimana)?"
"Kuliah saja di Magetan."
Ummik membelai kepalaku. "Nduk, pitulas tahun Ummik karo Abahmu ndak ketemu sampeyan."
Terjemah: (Nduk, tujuh belas tahun Ummik dan Abahmu tidak bertemu kamu)