*POV Ufi Yasmina Madah
Satu demi satu kursi pun menjadi kosong. Pemandangannya hanya tinggal sampah yang berserakan, merata hampir di seluruh halaman. Begitu halaman pesantren sepi, termasuk setelah Gus Yazeed selesai bicara dengan Ning Tabriz, santri putra bergerak memungut sampah-sampah gelas air mineral dan kardus dan sebagiannya menumpuk kursi-kursi. Sebelumnya melepaskan kain-kain putih di kursi itu. Bapak dan mamak mendekatiku yang sedang turut menyapu bersama beberapa muraqibah.
"Fi, besok pulang, ya," pinta bapakku tiba-tiba.
Kuhentikan gerakan tanganku menyapu.
"Kok tumben, Pak?"
"Yo ndak apa-apa. Boleh, kan?"
"Tapi, kalau malam ini kok sepertinya sungkan banget yo, Pak, mau izin ke Bu Nyai. Orang lagi repot begini. Ndak enak kalau aku pamitan."
"Mumpung Bapak dan Mamak di sini lo, Fi." Mamak menimpali.
"Ya tapi gak lo, Mak. Sungkan mau pamitan. Atau besok saja insyaallah aku bisa izin."
"Apa Bapak yang ngomong sama Bu Nyaimu?"
"Besok saja, Pak. Biar dijemput sama Paklik gitu."
"Yo uwislah (ya sudahlah). Batine Mamak mumpung di sini. Tapi, besok pagi-pagi sekali lo, ya. Dijemput Paklik sebelum subuh."
"Memangnya kenapa, Mak, Pak?" Tidak biasanya mereka memintaku pulang tiba-tiba.
"Besok saja ngomongnya, Fi. Sudah malem Bapak dan Mamak pamit."