Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #160

Seperti yang Tertukar


*POV Ufi Yasmina Madah


Alhamdulillah...

Begitulah kalimat terakhir yang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bapak dan mamak yang hanya orang biasa pasti merasa sangat tersanjung ketika putrinya dilamar oleh anak kiai. Bukan karena gila dengan kehormatan. Tapi memang ini kali pertamanya ada yang datang melamar dan pelamarnya bukan kalangan biasa saja. Terlepas dari latar belakangnya yang cukup membuatku getar-getir, bapak dan mamak akhirnya tetap menerima lamaran itu. Katanya, askutu tadullu 'ala na'am. Diam tandanya setuju.


Diamku karena aku berpikir. Apa seperti ini rasanya dilamar? Aku terbengong-bengong. Mungkin karena aku sudah tahu siapa pria itu, dari mana asalnya, bagaimana latar belakangnya, dan siapa perempuan yang pernah dia lamar sebelumnya. Sebetulnya aku tidak menangis. Tak bersedih juga. Karena dalam jangka sekian waktu yang tidak dapat aku perkirakan, aku telah mendapatkan cincin peningset yang sekarang telah melingkar di jari manis tangan kiriku. Cincin yang harganya tidak dapat kuperkirakan. Dari bentuknya saja sudah terlihat itu emas dengan berlian mahal. Yang tak akan mampu terbeli oleh orang serba cukup seperti keluargaku.


Semudah inikah perjalanan awal cintaku? Tak muluk-mulukkah seperti yang telah dialami Ning Tabriz? Justru tak akan ada kesan pahit manisnya. Justru tawar rasanya. Benarkah aku sudah mempunyai calon suami? Bukan dari kalangan orang biasa? Semendadak ini? Segampang inikah perjodohanku?


Kuhitung sisa hafalan yang harus kuhafalkan kebut-kebutan nanti. Masih banyak. Belum juga tabarukan selama empat puluh hari yang kuimpikan sejak aku masuk ke pesantren ini. Bisa tidak bisa, aku sudah berniat akan mengejar target tabarukan itu.


Aku kembali ke pesantren usai azan isya. Sebetulnya mamak menyuruh esok saja. Tapi, aku telanjur akan kembali hari ini. Keperluanku sudah selesai. Juga sudah dipastikan aku akan menikah dengannya meski soal tanggal belum dapat dipastikan.


Ingin kulepas saja cincin itu. Tapi, aku takut hilang. Aku diberi amanah agar memakainya dan jangan sampai menjatuhkannya.


"Sudah dapat calon bojo kok gak semringah?" tanya paklik.


"Mosok aku harus cengengesan to, Paklik, Paklik."


"Biasanya arek wedok kalau lagi girang, mesti senyum-senyum sendiri."


"Emang kalau laki-laki nggak to, Paklik?"


"Paklik lagi bahas awakmu (kamu) itu lo. Malah nanya gimana kalau yang laki-laki."


"Aku nggak percaya aja, Lek. Mondok belum rampung, hafalan masih kurang banyak, eh jodoh sudah nunggu."


"Soale jodomu lagi kok tunggu. Iyo to?"


"Hehe. Dulu cuman pengen tahu rasanya, Lek. Kok kejadian beneran, ya."


"Takdir manusia nggak ada yang sama. Banyak banget manusia yang masih harus menunggu lama permintaannya di-ACC Gusti Allah. Ada yang baru meminta, itu pun gak sungguh-sungguh, tapi langsung dikabulkan. Contone yo awakmu (contohnya ya kamu)."


"Bener juga, Lek."


Gerbang belum ditutup. Ada kang-kang santri yang masih nyantai sambil ngobrol dan menghafalkan bait nazaman alfiyah di saung.


Aku turun dari mobil. Aku hampir saja berjingkat karena dipanggil Pak Nizam dari belakang.


"Pak Nizam dari mana?"


"Nggak. Dari sana aja." Sambil menunjuk arah yang tak jelas dari sebelah mana. Seperti asal mengarahkan telunjuk.


"Oooh."


"Mbak Ufi bisa kita ngobrol bentar, Mbak?"


Lihat selengkapnya