Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #161

Paparazi

*POV Ibban Nizami


Sudah lama aku tidak memasang feed insta. Terakhir dua bulan lalu. Kubiarkan akunku sepi. Aku sendiri juga sudah sangat jarang membuka media sosialku yang satu itu sejak aku pindah ke Tulungagung. Satu jepretan halaman depan pesantren menjadi feed selanjutnya. Caption apa yang cocok? Sembari berpikir, kuarahkan kameraku ke sudut pandang yang lain. Aku mengerutkan alis. Jepretanku sebelumnya tidak terlalu bagus.


Aku mencoba mencari angle yang pas. Lantas salah seorang tiba-tiba muncul di teras. Mematung sejenak. Dia sedang membawa pisau. Menatap lurus ke depan. Tubuhnya yang tidak tinggi juga tidak pendek, sepadan dengan gamis kotak-kotak perpaduan warna dusty pink dan broken white. Aku tidak mengerti style perempuan. Termasuk gamis model apa yang dia pakai sekarang. Tapi, aku hanya bisa menilai pemandangan di depanku menjadi lebih estetik. Aku membidik tanpa sepengetahuannya. Jepretan kedua saat dia telah menjangkah tiga langkah ke depan sembari membenahi kerudung, menyampirkan selendang pasminanya ke pundak sebelah kiri. Crek! Kebetulan saat dia sedikit menoleh ke arahku, tapi tidak sampai menatap posisiku. Tepat sekali. Aku membidiknya dengan sempurna. Dulu aku sering menjadi kameramen saat ada acara di pesantren. Pernah sempat ingin menjadi fotografer, tapi ibuku kurang begitu suka.


Kuperhatikan dia memetik bunga-bunga itu dengan anggun. Dia bercongkang, membiarkan gamisnya tergerai menyapu halaman, lalu memilah dan memilih mana saja bunga mekar yang sudah siap dipetik. Dipetiklah satu per satu, lalu dia menyematkannya ke tangan kiri. Kadang dia menciumnya terlebih dahulu sebelum pisau menebas tangkai. Dia hanya mengambil beberapa. Lantas dia berdiri sembari mengibaskan ujung gamisnya yang dia rasa sudah kotor.


Lantas kulihat ada sesuatu yang terjatuh di dekatnya. Lebih tepatnya aku tahu itu seperti sesuatu yang baru saja dilempar. Aku segera bangkit. Kudekatinya yang ragu-ragu hendak mengambil barang itu. Langkah kupercepat. Aku khawatir itu sesuatu yang membahayakan. Aku mengambilnya lebih dulu sebelum ujung jarinya menyentuh.


Kubuka perlahan-lahan. Rupanya hanya batu. Tapi, kulihat ada selarik tulisan yang tercantum di kertasnya. Batu kulemparkan ke sembarang arah, kubaca pesan itu.


Aku mengawasimu. Kamu hanya tinggal menunggu waktu.


Meski pesan itu tidak menyebut nama yang dituju dan siapa pengirimannya, aku tahu itu ditujukan kepada siapa. Itu pesan teror. Tidak mungkin pula orang yang niatnya menakut-nakuti sekaligus mengancam itu akan menuliskan nama. Segera kusobek-sobek kertas itu tanpa pertimbangan apa-apa. Fizah tidak boleh sampai mengetahuinya. Hanya dia perempuan yang bermasalah di tempat ini. Kemungkinan penerornya pun orang yang pernah mengejarnya siang itu. Sayangnya aku tidak mendapati siapa pun di seberang sana. Orang itu mungkin sudah pergi. Aku berpikir keras. Sebahaya inikah keadaannya? Jiwa raganya sedang terancam. Sebelum mereka berhasil menemukan Fizah, dapat dipastikan mereka akan tetap meneror Fizah seperti ini. Masih bagus ini hanya tulisan. Tiba-tiba aku menjadi khawatir teror itu akan dikirimkan dalam bentuk ancaman yang lain. Dan, justru teror seperti itulah yang dapat mengganggu psikis seseorang. Sampai dia menanyakan kertas apa yang sedang kubaca, aku justru terpaksa mengalihkan pembicaraan. Kutunjuk melati-melati yang semerbaknya sudah menguar dalam jarak dua meter.


Setelah percakapan singkatku yang cukup intens dengan Mbak Ufi, aku juga tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Kupikir dia sebagai sahabat Fizah, dia bisa memberiku keterangan. Minimal hal besar apa yang selama ini membuat Fizah masih merasa tidak nyaman atau sejak kapan dia mendapatkan teror itu?


Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Di mana aku bisa menemukannya? Hanya Yazeed yang mungkin tahu di mana dan siapa pelaku sebenarnya. Dugaanku tidak akan cukup kuat. Selain itu, aku mengawasi pesantren seharian, tidak ada lagi gelagat mencurigakan. Tapi, mungkin aku harus membicarakannya dengan Kang Bimo. Dia mondok sudah cukup lama dan tahu sekali tentang pesantren ini. Aku menghampirinya saat dia masih sarapan di teras dengan santri-santri lainnya.


"Monggo, Mas, sarapan dulu," ujarnya.


"Nggeh nggeh. Monggo!" kataku.


"Nggo, Mas, kalau belum sarapan." Dia bersama tiga santri senior lainnya tengah asyik menyantap menu lodeh pepaya dan lauk tahu tempe.


"Krupuk, Kang." Dia meletakkannya di dekatku.


"Nggeh."


Lihat selengkapnya