*POV Ibban Nizami
Begitu aku sampai di sana, kulihat ada mobil yang sudah terparkir. Sepertinya sudah sejak tadi. Tapi, tidak ada siapa pun yang duduk di gubuk depan. Dan, aku baru menyadari aku mengenali mobil itu. Tapi, di mana dia?
Seperti biasa Darul Amin akan selalu menjadi padepokan yang sedikit terkesan mengerikan. Selalu ada penjaga bertubuh kekar mengenakan baju hitam, tiga di antaranya memakai blangkon. Gerbang juga selalu tertutup. Seperti tempat yang sengaja mengasingkan diri dan terasingkan. Tapi, jika kuingat tempat ini juga digunakan untuk pengajian kitab seperti yang kulihat sebelumnya, tempat ini juga bisa disebut pesantren. Pemiliknya saja bernama Kiai Abad. Tapi, sesungguhnya aku belum benar-benar tahu tempat apa ini. Aku belum mengerti kenapa tempat ini tidak seperti padepokan lainnya? Jika orang yang kukenal saja mungkin sekarang ada di dalam, seharusnya aku pun bisa masuk ke sana tanpa syarat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Saya belum kontak Gus Yazeed. Tapi, saya minta bertemu. Ada keperluan yang sangat penting. Bisa langsung masuk? Saya pastikan saya bukan orang yang sedang mengintai siapa pun di sini. Saya hanya ingin berbicara empat mata dengan dia."
"Baik."
Untuk yang pertama kalinya aku masuk ke Darul Amin. Tak kusangka ternyata tempatnya begitu luas. Seolah-olah aku sedang disuguhi sebuah desa kecil atau kampung yang terasingkan. Rindang dan menenangkan. Pantas saja Ratna semakin membaik setelah berada di sini. Fokus mataku langsung tersita ke arah bangunan paling tinggi di atas sana. Yang dipagari oleh tralis besi bertuliskan Darul Amin. Mungkin itu kediaman Yazeed beserta Kiai Abad.
"Gus Yazeed ada di dalam. Silakan tunggu di gazebo."
"Di sana?" Kutunjuk kediaman itu dengan daguku.
Pintu rumah itu terbuka. Yazeed menuruni anak tangga. Sembari merokok, dia berjalan melewati lalu lalang para perempuan. Kadang menganggukkan kepala karena para perempuan itu bergiliran memanggil, bermaksud menyapa. Malah ada beberapa perempuan yang mendekatinya, lalu memaksanya membuka mulut. Dia disuruh mencicipi makanan. Dia pemimpin yang mengayomi. Ikatan sosial di tempat ini bisa dikatakan terjalin dengan baik. Dia kembali berjalan ke padaku setelah memberi isyarah sudah kenyang.
"Bisa tinggalkan kami?" pintaku.
Mata Yazeed memberikan isyarat. Body guard itu menyisih.
Aku mengajaknya bersalaman. "Apa kabar?"