*POV Ibban Nizami
Abah sedang berbincang-bincang dengan salah satu pembelinya. Tampak sudah akrab. Kuperhatikan mereka dari jauh sebelum aku mendekati. Mereka justru duduk di kursi depan toko. Percakapan itu sudah jelas diperpanjang. Tapi, aku tetap ke sana. Aku bisa menunggu Abah Bahar selesai merampungkan pembicaraan dengan melihat-lihat isi toko. Barangkali aku juga tertarik membeli salah satu kitab. Aku melirik abah. Kuberi senyum. Punggungku sedikit melengkung demi melipir melewati samping mereka berdua. Tapi, langkahku mendadak berhenti karena abah memanggilku.
"Nggeh?"
"Zam, jupuko kono sembarang kitab opo sing pengen sampeyan tumbas."
Terjemah: (Zam, ambil sana terserah kitab mana yang ingin kamu beli)
Aku hanya mengangguki itu.
Rak-rak terisi penuh. Rak bagian paling atas, yang hanya bisa diambil jika naik ke kursi atau meja, diisi kitab-kitab besar seperti shahih bukhari muslim, karya Ibnu Katsir, buku-buku terjemahan. Rak tengah dipenuhi ensiklopedia islam versi terjemah atau pun karya penulis lokal. Sedangkan, buku-buku sejarah, novel-novel islami seperti karya Habiburrahman El-Shirazy, buku wanita islam, atau buku karya ulama modern dewasa ini ada di etalase kaca yang ada di tengah-tengah ruangan, sepanjang tiga meter. Selain itu ada kitab versi terjemah yang tidak dipajang di luar. Seperti yang baru saja diambilkan salah satu santri putri yang kesehariannya memang ditugaskan untuk menjaga toko kitab.
Stok kitab di toko ini diperoleh dari Kediri, Malang, dan di salah satu toko kitab tertua di Indonesia, tepatnya yang ada Surabaya. Santri putri tadi keluar membawakan bertumpuk-tumpuk kitab uyunul masail versi terjemah. Paling-paling pembelinya juga salah seorang pengurus dari pesantren lain. Kulihat sarung santri putri pembeli itu bertuliskan PP. Manbaus Salam. Setahuku itu pesantren salaf dari Blitar.
"Bisa?" Kudapati mbak penjaga toko itu bingung packing kitab yang jumlahnya terbilang banyak. Santri lainnya menghitung. Ada tiga ratus lima puluh eksemplar. Dia menyerahkan notanya kepada santri Manbaus Salam.
"Bisa nggak packingnya?" Dia memperhatikan temannya yang kelihatan ingin menyerahkan padaku, tapi sungkan.
"Biar saya yang packing."
"Suwun, Kang." Lalu, berbisik pada temannya, "Tali ravianya di salam. Sekalian ambil kardus yang tebal."
"Biasanya bukan dia, ya?" tanyaku pada yang baru menyuruh.
"Enggeh. Yang biasanya lagi pulang. Izin tiga hari."
Pantas saja. Dia terlihat masih bingung apa yang harus dilakukannya.
Sembari menunggu, kutoleh dua santri Manbaus Salam itu. "Mbak, kenapa tidak langsung beli ke Lirboyo?"
Yang kutanya gagap. Agak kaget aku tiba-tiba mengajaknya bicara. Yang kuajak bicara menatapku, sedangkan santri satunya mencari objek yang lain, terlihat malu-malu.
"Kita baru rihlah ke Telaga Sarangan."
"Ooh, mampir sekalian?"
Dia mengangguk. "Gimana Manbaus Salam sekarang?"
"Ya...alhamdulillah semakin baik. Peminatnya semakin banyak."
"Gus Alba juga masih sibuk mengurusi tokonya?"
"Sekarang lebih sering di pondok, Pak. Kalau tidak salah sudah dimandatkan kepada orang lain. Duko (tidak tahu) siapa."
"Ini kardusnya."