*POV Tsaniya Tabriz
Bagaimana aku tidak berdebar mendengarkan kalimat yang baru saja aku dengar? Tanda bahwa Pak Nizam setuju menerima permintaanku. Kenapa dia terburu-buru? Kenapa dia menyuruhku berkata soal keadaanku yang sebenarnya? Adakah sesuatu yang sedang terjadi, sedangkan aku tidak tahu? Semua pertanyaanku, sayangnya hanya tersimpan di mulutku. Dia memperlihatkan wajah seriusnya dengan sangat jelas. Dia sanggup melakoni semuanya bila ingin segera menikah denganku.
Aku tahu. Kita dianjurkan menyegerakan sesuatu yang baik. Tapi, bukan berarti harus seperti itu. Apa yang akan terjadi padaku dan Pak Nizam? Tidak akan ada apa-apa, melainkan masa yang kugunakan untuk mempersiapkan diri sebelum adanya pernikahan. Namun, malam ini dadaku berdegup lebih kencang. Yang dikatakan Pak Nizam itu benar. Abah kembali membicarakan soal pernikahan denganku. Juga dengan ummik di ruang tengah.
Kupeluk Alquran yang baru saja kudaras satu juz. Belum sempat aku mengganti mukena, abah sudah menyuruhku merapat. Aku segera turun dari tempat tidur depan televisi. Duduk meleseh di bawah seperti abah dan ummik.
"Niya, upamane sampeyan dinikahne cepet-cepetan opo yo gelem?"
Terjemah: (Niya, seandainya kamu segera dinikahkan apa bersedia?)
Di lain hal aku mengerti. Abah tak sepenuhnya mengutamakan kehendaknya. Di sini, abah memberiku peluang untuk bicara. Padahal, abah sebagai wali mujbir diperbolehkan menentukan semuanya tanpa harus mendengar apa yang ingin aku sampaikan. Tapi, aku. Bingung harus memulai dari mana. Jika aku menceritakan soal yang pernah aku mintakan pada Pak Nizam, aku khawatir abah dan ummik marah.
"Apa harus secepatnya, Bah? Ummik mengatakan Niya harus fokus sama Alquran." Keberanian itu muncul entah dari mana. Desakan itu terasa sangat kuat. Aku harus berani menyampaikan apa yang kukehendaki. Aku tidak bisa hanya menutup mulut.
"Piye, Mik?"
"Sakjane lerese ngoten, Bah. Lha mangke malah Alqurane mboten rampung goro-goro ngurusi lintune."
Terjemah: (Sebetulnya bener seperti itu, Bah. Lha nanti malah Alqurannya tidak khatam gara-gara mengurusi lainnya)
"Nggeh, Bah." Aku menyahut segera.
"Yen ngono ndak usah kuliah. Kuliah biasane luweh abot. Nggarap tugas sak tumpuk-tumpuk."
Terjemah: (Kalau begitu tidak usah kuliah. Kuliah biasanya lebih berat. Mengerjakan tugas setumpuk-tumpuk)
Mungkinkah aku bisa menyelesaikan hafalan dalam satu setengah tahun dibarengi dengan kuliah? Hafalan sambil kuliah, atau hafalan sambil menikah. Atau, menangguhkan kuliah dan pernikahan sebelum hafalanku rampung. Tapi, aku sudah menawarkan sesuatu pada Pak Nizam. Aku diam sejenak menekuri itu. Yazeed telah melamar Mbak Ufi. Aku berharap dia sudah legowo melepaskan semua perasaannya padaku. Aku tidak membebaninya lagi jika dia telah menemukan wanita pengganti. Aku akan meneruskan mimpiku dengan pria lain. Aku harus mengambil tekat seperti yang kulakukan di kolong sampah itu.
"Niya sanggup tiga-tiganya, Bah." Aku getar-getir mendengarnya. Kemantapan itu terlepas tiba-tiba. Walau aku tak sepenuhnya yakin, bolehlah aku melakoninya terlebih dahulu.
"Kabeh (semua), Nduk?" Ummik agak terjekut.