*POV Ibban Nizami
Malam jumat. Kegiatan ba'da magrib dan isya di pondok putra sudah disiarkan libur. Hanya tinggal beberapa yang di musala mengerjakan amanat khataman Alquran. Salah satunya diutus membacanya di mikrofon. Abah tak memberitahu maksud itu kepada santri. Sedangkan, santri-santri lainnya berjingkrak-jingkrak. Mereka bergiliran menyalamiku dan abah.
Awan bergulung-gulung. Rembulan meredupkan cahaya. Bintang mengamankan diri. Suara petir menyambar di sudut tenggara. Serabut cahaya di langit berkali-kali muncul. Seperti gelegar cambuk yang sangat menyakitkan. Cukup membuat bergidik jika dilihat dengan mata telanjang. Pertanda hujan akan turun sangat deras.
"Monggo, Bah. Kelihatannya sebentar lagi hujan deras."
"Alhamdulillah."
Abah mengajakku ke ruangan pengobatannya.
Sampai khataman Alquran itu selesai, kami masih baru menuntaskan separuh zikir yang tertulis di kertas. Diiringi gemuruh air hujan menuruni genteng. Suara abah hampir saja tertelan dan aku hanya bisa mendengarnya lirih. Kadang zikirku berhenti di tengah karena terkejut mendengarkan guntur. Dan, hujan tetap saja menguyupi hingga hampir tiga jam dengan irama tak tentu. Kadang begitu deras dan kadang hanya rintik-rintih. Prosesi ini masih akan terus berlangsung sampai tengah malam tanpa jeda.
Kulirik jam tangan. Sudah hampir setengah dua belas. Tak lama setelah itu, abah merampungkannya. Abah membalikkan posisi duduk bersilanya. Menghadapku.
"Zam, keris kae sampeyan balekno neng wong wedok sing maringi."
Terjemah: (Zam, keris itu kamu kembalikan kepada perempuan yang memberi)
"Enggeh, Bah."
Ini titah. Dan, aku tidak perlu mempertanyakan alasannya. Kedengarannya ini sangat penting sehingga setelah menyelesaikan semuanya, abah langsung mengutusku. Ini bukan hanya perintah, tapi mungkin ini pertanda yang sengaja abah tidak ceritakan.
"Jenenge sopo (namanya siapa)?"
"Mustika. Wardah Mustika Rahayu."
"Anake sopo?" (Anaknya siapa?)
"Ki Dalang Jatmiko. Sesepuh desa saya, Bah. Apa Abah mengenalnya?"
Abah hanya mendiamkanku. Pandangan abah menunduk ke bawah. Dengan pembawaannya yang selalu tenang, aku menduga abah tengah memikirkan sesuatu.
"Zam, sesok sampekno neng kabeh santri putra putri. Kon ngamalne ayat iki."
Terjemah: (Zam, besok sampaikan kepada seluruh santri putra putri. Suruh mengamalkan ayat ini)
Abah mengarahkan telunjuknya ke beberapa potongan ayat yang tertulis di kertas.
"Mugo-mugo Gusti Allah paring kebaureksan."