Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #168

Janji

*POV Tsaniya Tabriz


Ummik tanpa bertanya kembali ke dalam. Obat merah, kasah, dan alkohol di tangannya dilempar.


Darahku terus mengalir. Lengan bajuku merah semua. Sebagian darahnya sampai bertetesan ke lantai. Aku tak berani melihat darah segar mengucur sebanyak itu. Kau terus memalingkan muka sembari terus mendekap lengan. Kutekan hingga sakit sekali.


"Ini ini kainnya." Ummik memberikannya pada Pak Nizam.


"Maaf, ya. Sory aku pegang lengan kamu. Atau, Ummik saja?" Dia menatap ummik sejenak.


"Wis sampeyan ae. Ummik ndak ngerti malahan."

Terjemah: (Sudah kamu aja. Ummik tidak paham malahan)


Pak Nizam menatapku sebentar. Dia canggung. Matanya bertanya apakah aku boleh menyentuhnya.


"Aku bisa, Pak."


Aku ingin mencobanya terlebih dahulu. Pak Nizam pun tak memaksa harus dia yang memberi perban lenganku. Dia hanya membantuku sedikit. Terpasanglah kain itu. Karena luka itu terlalu ditekan, rasanya benar-benar sakit.


"Ayo! Pakai mobilku saja."


Kami pulang dari rumah sakit jam setengah sebelas siang. Ternyata lukanya harus dijahit. Benar kata Pak Nizam, ada pembuluh darah yang terkenan sayatan pisau itu. Lebar tiga senti dengan luka sedalam satu senti.


Kata ummik, sekarang wajahku pucat. Aku sendiri merasa lemas. Tenagaku seperti sudah terkuras habis. Tanganku kaku. Aku tidak berani banyak menggerakkannya.


"Monggo diminum dulu!" kata Mbak Ufi. Dia tidak segera beranjak.


"Berbaring neng kene opo jeng njero, Nduk?"

Terjemah: (Berbaring di sini apa di dalam, Nduk?)


"Di dalam saja, Mik," jawabku lirih. Sekarang pun aku menjadi agak pusing.


"Mas Nizam, sepurane wis ngrepotne. Suwun wis gelem ngeterne Niya."

Terjemah: (Mas Nizam maaf sudah merepotkan. Terima kasih sudah mau mengantarkan Niya)


Dia mengangguk. "Mik, ngapunten bisa bicara sebentar?"


Aku beranjak. Ummik memerintahkan Mbak Ufi agar membantuku ke kamar. Sebetulnya aku bisa sendiri, tapi Mbak Ufi memaksa membantu.


Mbak Ufi membuka pintu kamarku. Menyuruhku duduk di kasur. Tapi, aku memilih langsung berbaring. Aku bergerak pelan-pelan.


"Gimana lo ceritanya kok bisa gini?"

Lihat selengkapnya