*POV Tsaniya Tabriz
Aku kesulitan mandi, terutamanya saat melepaskan baju. Juga ketika memakai pakaian. Kadang ummik memaksa membantuku takut aku tidak bisa. Padahal, hanya satu luka di lengan atas tangan kananku. Tapi, itu benar-benar menghambat kecepatan kerjaku. Aktifitasku menjadi lebih lamban. Untuk sementara, aku menggunakan tangan kiri untuk memegang dan mengambil apa pun. Melalui kecelakaan disengaja ini, aku harus lebih berhati-hati. Abah dan ummik pun berpesan aku atau pun ummik tidak boleh keluar pesantren jika tidak ada laki-laki yang menemani. Minimal harus ada abang, Pak Nizam, Kang Bimo, atau pengurus putra lainnya yang mahir beladiri.
Subuh ini, kuhabiskan dua juz dalam sekali duduk. Tadi malam aku sudah menghafalkan satu halaman sebelum tidur. Sejauh ini tidak ada masalah internal yang menghambatku hafalan. Kalau pun ada, itu karena sekitar persoalan Pak Su dan pernikahan yang akan aku hadapi. Aku sangat bersyukur karena di atas masalah yang aku pikirkan, itu semua tidak terlalu mengganggu kelancaranku menghafal dan murajaah.
Setelah abang dan Kak Ulya pulang nanti, dua keluarga akan berkumpul membahas tanggal pernikahan dan semua persiapannya. Termasuk pernikahan seperti apa yang aku inginkan. Setelah mengembalikan Alquran di kamar, aku bergabung dngan Mbak Ufi dan santri lainnya yang membantu memasak. Meskipun tanganku sakit, tapi sepertinya aku kurang begitu berselera makanan menu yang dimasak Mbak Ufi, menu pilihan ummik. Aku memilih membuat nasi goreng pedas spesial dengan taburan udang.
"Mau ngapain?"
"Bawang yang sudah dikupas mana? Habis?"
"Ada di kulkas. Sebentar aku ambilkan."
"Bisa aku, Mbak Uf." Aku menolak. Kuambil sendiri. Tapi, cabai yang aku butuhkan kurang banyak.
Kuambil tiga puluh cabai rawit.
"Mbak, minta tolong iriskan semuanya sekalian diulek, ya."
Mbak Ufi menoleh. Meninggalkan pekerjaannya yang lain. Dia mengerjakannya cepat, hanya sepuluh menit sekalian menguleknya. Kalau urusan dapur, dia memang sudah ahlinya. Mengulek bumbu tanpa diirisi pun dia bisa.
Lima belas menit berlalu. Kucicipi. Aku manggut-manggut. Menurutku pedasnya sudah sangat pas. Kuminta lagi Mbak Ufi agar menuangkannya ke mangkuk. Kusuruh menaruhnya di dua piring.
"Satunya buat siapa?"
"Ada deh."
Kutambahkan kerupuk dan serbuk cabe. Nasi goreng spesial siap disajikan. Kutatap nasi itu sambil tersenyum. Kubayangkan ekspresi yang memakannya akan sangat lucu. Aku keluar sebentar. Melongok, adakah santri putra yang terlihat nganggur.
"Kang?" Aku melambai.
Santri kecil itu mendekatiku.
"Kang, ambil nasi di nampan itu."