*POV Ibban Nizami
Ba'da zuhur.
Semula aku ingin kembali mengajak ibuk ke Al-Furqan yang kemarin harus pulang dulu karena ibuk tidak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Tapi, kebetulan keluarga di rumah sedang berkumpul, sehingga ibuk menolak kujemput. Ibuk malah mengkhawatirkanku. Karena aku juga baru bercerita pada ibuk apa yang telah dilakukan Fizah padaku. Dan, bagi ibuk itu justru lelucon yang membuat suara ibuk di seberang telepon terdengar amat bahagia. Karena ulah Fizah, perutku sekarang rasanya sedang bermasalah. Diare dan perih. Asam lambungku sepertinya agak kambuh. Ibuk tidak ingin aku bertambah sakit karena harus menjemputnya.
Untuk rencana pernikahan dan tanggal yang akan dirembuk nanti malam, ibuk sudah pasrah kepada keluarga pesantren. Permintaan ibuk tidak banyak. Ibuk hanya ingin aku menyampaikan bahwa pernikahannya nanti pun juga harus digelar di Banyuwangi. Harus ada unduh mantu. Kalau di pesantren hanya ingin mengadakan akad nikah saja, ibuk tidak masalah. Walimahannya bisa dilaksanakan di Banyuwangi. Ibuk juga kepengen sekali bisa membawa istriku nanti ke rumah. Barang seminggu misalnya, sebelum nantinya yang harus mengalah tinggal di pesantren, pindah alamat di Magetan.
Tiba-tiba perutku mules lagi. Aku berjingkat-jingkat ke kamar mandi putra. Antre dengan santri-santri yang berjejer-jejer. Rasanya sudah diujung. Bercampur dengan rasa perih di lambung dan sesak napas. Kuusap peluhku yang dingin. Efeknya cepat sekali. Padahal baru tadi pagi aku memakan nasi gorengnya. Sebetulnya aku sudah mengira setelah makan nasi goreng super pedas itu, yang paling bermasalah nanti lambungku. Tapi, aku menghormati yang memberikannya dan aku ingat rasa nasi goreng yang pernah dimasak Fizah ketika lomba itu memang lezat. Aku tergiur untuk terus menghabiskannya. Selain juga langsung berdampak seketika pada suaraku, aku juga mulai diserang mules sebelum zuhur ketika aku membicarakan tanggapan gambus di Magetan lima hari lagi. Tadi aku sudah nongkrong di kamar mandi dua puluh menit karena saking mulesnya. Dan sebelum perutku terisi makanan lagi, perutku harus dikosongkan kembali.
Kupanggil Kang Bimo yang ingin mandi siang. Sembari nyengir tidak kuat menahan, aku berkata, "Aku minta tolong kalau ada obat diare sama obat lambung."
"Loh, lha gara-gara opo, Mas, kok sampai mules-mules begini?"
"Nasi goreng."
Santri di depanku, yang kuingat dia adalah yang memberikan nasi goreng tadi padaku, dia menyambung, "Yang dari Ningnya tadi apa bukan?"
"Ya yang kamu berikan padaku tadi."
"Woh dari Ning Niya?"
"Iya, Kang."
Kang Bimo agak tersenyum. "Mas, Mas, kok romantis begitu weeeh."
Aku tidak begitu fokus mendengarkannya. Kruwes-kruwes di perutku semakin menjadi-jadi. Pantatku meletup. Sekali hanya lirih. Yang keduanya sampai orang-orang menoleh ke arahku.
Sampai menjelang magrib, kegiatanku masih bolak-balik ke kamar mandi. Tak banyak makanan masuk. Karena sekali ada sesuatu yang kumakan, perutku menjadi mules. Rasanya hampir seperti orang terkena ambeien. Juga asam lambungku yang belum kunjung membaik meskipun aku sudah minum obat pemberian Kang Bimo tadi. Meski demikian, semoga perut mulesku sama sekali tidak mengganggu rembukan malam ini.
Aku sudah di ruang tamu. Ditemani bu nyai secangkir teh hangat. Kami menunggu abah kiai menyelesaikan wirid dan Fizah yang masih di pondok putri menemui muraqibah.
"Ngapunten, Mik, Ibuk tidak bisa datang. Keluarga besar berkumpul."
"Terus piye?"
"Ibuk nitip pesan. Tapi, apa nanti acaranya hanya cukup dengan akad nikah, Mik? Barangkali Ning Miya ingin konsep pernikahan yang lain?"