Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #171

Buntalan Kresek

*POV Ibban Nizami


Perutku sedikit terasa mulas lagi. Juga masih sedikit perih. Napasku pun terasa berat. Biasanya aku minum obat resep dari dokter. Kadang sebagian obatnya yang bisa ditebus di apotek, aku langsung beli sendiri tanpa konsultasi lagi. Tapi, aku belum membelinya dari siang tadi. Kutahan ekspresiku. Jangan sampai perut mulasku membuat mereka menunda perencanaan ini. Setidaknya jangan sampai aku tidak sengaja melepas kentut.


"Ummik pingine endak mung akad thok. Senajan iki dadakan. Yo senajan endak mewah, tapi yen undangane akeh, sing dongakne tambah akeh."

Terjemah: (Ummik inginnya tidak hanya akad saja. Meskipun ini mendadak. Ya meskipun tidak mewah, tapi jika undangannya banyak, yang mendoakan tambah banyak)


Fizah mengangguk.


"Lek sampeyan iyo, iki tanggale Abah duwe rencana tanggal pitulas rejeb. Berarti kui tanggal umume...yo tanggal iki...sek..." Diam sejenak.

Terjemah: (Kalau kamu iya, ini tanggalnya Abah punya rencana tanggal tujuh belas rajab. Berarti itu tanggal umumnya...ya tanggal ini...sebentar...)


"Tanggal 18 Februari. Iyo, Zam?"


Aku sedang memastikannya. Aku pun tidak hafal. Sejurus aku mengiyakan.


"Sampeyan piye, Zam?"


"Enggeh, Bah."


"Sampeyan keberatan opo endak misale direjakne walimahan pisan? Lek penjaluke sampeyan wingi kae mung akad wae. Sederhana. Ngono to?"

Terjemah: (Kamu keberatan apa tidak misalnya diramaikan dengan walimahan sekalian? Kalau permintaan kamu waktu itu hanya akad saja. Sederhana. Begitu, kan?)


"Nggo jogo-jogo penampane masyarakat," tambah bu nyai.

Terjemah: (Buat jaga-jaga pandangan masyarakat)


"Tapi, begini, Bah. Ngapunten, Ibuk nggeh ingin nanti unduh mantu di Banyuwangi. Sekalian nanti Ibuk bisa serumah dengan menantunya. Seminggu dua minggu. Ibuk saya sering sendirian di rumah."


"Yo ndak opo-opo." Abah tidak mempermasalahkan.


Perencanaan awal sudah clear.


"Soal mahar...hmm...Ning Niya ngersakne nopo (ingin apa)?" Aku bertanya dengan setengah menahan kentut. Bahaya sekali kalau tiba-tiba suaranya mengganggu percakapan penting seperti ini. Kentut itu akhirnya pelan-pelan kembali masuk. Seperti kepala siput yang hendak disentuh.


Abah dan bu nyai serempak menatap Fizah.

Lihat selengkapnya