Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #173

Sebuah Pesan

*POV Tsaniya Tabriz


Jujur aku sangat takut. Tapi, aku penasaran siapa yang mengirim pesan itu tadi malam. Menurutku bukan Pak Su. Karena tak mungkin dia mengajakku bertemu di tempat terbuka yang jelas ramainya. Dia tidak mungkin mau mencari rugi. Maka, kuputuskan berangkat. Kupaksa Kang Bimo yang bingung ingin menolak karena sebentar lagi dia akan mengantarkan abah memenuhi jadwal undangan ceramah di Kediri.


Setiba di depan gerbang, awalnya aku ragu. Apakah tidak sebaiknya aku masuk saja? Tapi, dia mengajakku bertemu di depan pintu masuk. Aku permisi turun dan kuminta Kang Bimo pulang. Kang Bimo menyarankan agar aku turun di dalam saja dan menawarkan diri akan menunggu sampai aku selesai. Namun, kepentingan abah jauh lebih penting. Aku mengusir paksa Kang Bimo yang akhirnya menuruti mauku. Dia pun pergi.


Panas siang ini cukup terik. Ditambah jubah dan maskerku yang serba hitam. Aku hanya tidak ingin dikenali. Mungkin tak ada sepuluh menit aku menunggu. Dan tiba-tiba aku sepeda motor yang memepetku dari arah kanan. Terus terang aku sangat terkejut. Peristiwa kemarin membuatku sangat waspada. Aku menjauh dua langkah. Pengendara itu tetap menatapku. Sementara aku belum bisa mengenali karena dia tengah memakai helm teropong. Lantas, dia melepaskan helmnya. Turun dari motor, lalu melepaskan masker.


Bagaimana aku tidak terkejut. Setelah beberapa pekan aku tidak bertemu dengannya, dia membuat pertemuan diam-diam denganku.


"Ngapain kamu?" Kusadiskan suaraku.


"Aku mau ngobrol, Zah. Bentar aja."


"Nggak. Nggak bisa." Aku mundur selangkah. "Kalau saja aku tahu kamu yang datang, aku nggak akan pernah mau ketemu. Nggak sudi aku." Kuperlihat ketidaksukaanku pada dia. Dialah penyebab semua ini. Aku belum bisa melupakan kesalahannya sampai sekarang.


Dia maju. Aku mundur lagi. Tapi, aku berusaha agar perbincangan ini tidak memicu perhatian orang. Ya aku mengerti. Pasti dia sengaja mengajakku bertemu di tempat terbuka agar bisa dengan mudah mengajakku bicara. Dia berpikir aku pasti tidak akan banyak bertingkah. Dan, itu memang benar. Tidak ada cara lain selain dengan mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan. Air mukanya sangat serius. Kutatap matanya sebentar. Dua mata itu setengah memohon. Lantas kupersilakan dia bicara dengan tanda diamku.


"Cuma sepuluh menit. Aku akan langsung pergi."


Aku mendiamkannya.


"Satu hal yang perlu kautahu. Zah, aku pengen jujur padamu. Sampai sekarang, asal kautahu aku nggak pernah bisa mengakui Sumarjo sebagai bapak biologisku."


"Apa hubungannya denganku? Itu nggak penting."


"Kau harus dengar ini. Sumarjo merencanakan sesuatu. Dia akan mencarimu sampai dapat. Dia ingin balas dendam padamu. Camkan itu! Posisimu terancam. Saat ini dia sedang merencanakan sesuatu. Selain itu dia juga ingin mencari keris Nyai Sekar Wangi. Ada padamu, kan?"


Aku terkejut. Aku tak berani menjawab. Aku belum bisa menalar perkataannya dengan baik. Satu kata yang pertama kali muncul ialah janggal. Apa hubungannya Pak Su dengan patrem yang dibawa Pak Nizam? Sayangnya aku lupa siapa nama pemberi keris itu.


"Siapa pun yang membawa keris itu sekarang, saranku cepat kembalikan pada pemiliknya. Baik kau ataupun siapa saja yang kini memegang keris itu, keris itu bisa membawa petaka."


Aku tidak boleh mempercayainya begitu saja. Aku berlindung kepada-Mu, Ya Allah.


"Hanya itu pesanku. Jaga dirimu baik-baik." Dia buru-buru menaikkan maskernya. Memakai helm, lalu singgah di motor besarnya itu. Melengganglah pergi.


Dadaku sesak. Masalah apalagi ini?


"Kalau kamu mau pulang, aku sudah memesankan jemputan."


Aku menoleh ke arah kiriku. "Pak?" panggilku lirih.


"Mau langsung pulang atau ke dalam?"


Aku tak mendengar dia sedang bicara. Aku semakin takut. Kukira hanya ada satu masalah yang belum selesai, rupanya masalah itu beranak pinak hingga menyeret nama patrem Nyai Sekar Wangi. Padahal, aku hanya pernah menerimanya sebentar. Kutatap Pak Nizam.


"Pak?"

Lihat selengkapnya