*POV Ibban Nizami
Aku segera pamit setelah Gus Fakhar pulang. Ba'da magrib aku langsung meluncur ke Banyuwangi. Seperti yang diminta Fizah tadi siang, aku harus segera pulang dan mengembalikan patrem itu kepada Mustika. Sebetulnya aku tidak begitu yakin dengan kembalinya patrem itu, masalah akan selesai begitu saja. Aku bersiap diri. Apa pun yang terjadi. Amanat kedua dari abah aku harus senantiasa memperbanyak salawat. Kuperbanyak salawat nariyah dan munjiyat. Iramanya mengalun pelan di sepanjang perjalanan. Silit berganti dengan lagu al-hubbu fi shumti (mencintai dalam diam).
Usai delapan jam perjalanan bebas macet, aku beristirahat di warung makanan yang sudah buka sejak pukul dua pagi. Pijar lampu warung menyita perhatianku yang memang sedang mencari tempat makan. Aku sangat lapar dan lelah sekali rasanya. Akhir-akhir ini aku cukup sering melakukan perjalanan jauh dalam kondisi tubuh yang kurang fit. Seperti hari ini. Saat lambungku belum sepenuhnya pulih, aku memaksakan diri pulang. Karena setelah kejadian kemarin, aku merasa semakin terdesak untuk segera mengembalikan. Kupikir bukan Mustika yang mencari patremnya, tapi Ki Dalang yang mungkin sebetulnya tidak menghendaki itu.
Sembari beristirahat sejenak, kubuka gawaiku. Tidak ada notif panggilan atau pesan masuk dari ibuk. Biasanya ibuk akan meneleponku barang sekali jika seharusnya aku sudah datang, tapi aku belum sampai di rumah.
Kuletakkan patrem itu di meja. Aku memperhatikannya dalam beberapa menit. Benda yang diyakini sebagian orang masih kental dengan kepercayaan mistis. Punya kekuatan gaib. Tapi, di tanganku benda ini sama sekali tidak membahayakanku sama sekali. Entah kenapa tiba-tiba aku begitu penasaran dengan asal-usul patrem ini. Memang benar, tidaklah seharusnya patrem ini berada di tangan sembarang orang. Bukan apa-apa. Tapi, semakin ke sini aku merasa semakin janggal. Juga tingkah laku Hakim yang tiba-tiba datang menyampaikan pesan penting. Dia datang sendirian menyampaikan maksud baik. Aku harus segera menemui Mustika. Aku akan membuktikannya lagi bahwa patrem itu diberikan padaku bukan karena maksud tertentu, seperti balas dendam karena aku telah menolak cintanya.
Kejanggalan itu berputar-putar di kepalaku. Kupegang patrem Nyai Sekar Wangi itu. Sayangnya aku sendiri tak pernah mau tahu soal benda-benda pusaka seperti ini. Aku tidak pernah tertarik. Tapi, kali ini rasa penasaranku bermunculan.
"Mas, sampeyan kok punya keris seperti itu, Mas?"
Kukira dia berbicara dengan siapa. Ternyata denganku. Aku menoleh.
"Oh, ini, Pak. Iya."
Pria yang sudah bisa disebut bapak itu menggeser kursinya setelah menghabiskan makanan dan rokok. Dia membuang puntungnya di asbak yang ada di mejaku.
Aku meletakkan keris itu.
"Boleh aku lihat, Mas?"
"Monggo!"
Pandangannya menganalisis. Alisnya menyatu. Dia manggut-manggut.
"Lha ini kok bisa ada di tanganmu ngopo (kenapa), Mas?"