Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #175

Mosaik 3

*POV Ibban Nizami

Aku memperlama percakapanku. Aku mengulurnya sampai sepuluh menit. Saat ibuk pamit akan menutup telepon, aku mengajukan tema lain. Termasuk rencana booking wedding organizer. Kulirik pria itu seperti sebal. Lalu, tak lama kemudian dia ke penjual membayar makanan dan minumannya. Sekali lagi dia menatapku. Masih berharap aku menyudahi dan berbincang-bincang lagi dengannya. Dia pergi. Aku pun menutup teleponku.


Pemilik warung mendekatiku sembari mengangsurkan piring.


"Dia langganan sini, Pak. Dia kolektor. Saya lihat tadi dia pegang-pegang keris itu, ya?" Dia menatap keris yang kupegang dengan tangan kiri.


Aku memasukkannya ke saku celana.


"Iya, Pak. Kenapa ya?"


Penjual malah duduk. Terlihat akan menyampaikan beberapa hal yang agak panjang. Aku mengikutinya.


"Tadi kebetulan dia ngobrol sama saya. Dia bilang Dalang Jatmiko sedang mencari keris. Ya entah diberitahu atau dia tahu karena mencari tahu, Pak."


"Ada sayembara atau gimana?"


"Kurang tahu ya kalau itu. Tadi tidak ngomong."


"Kalau menurut saya ya karena Dalang Jatmiko kan tersohor. Jadi, kalau ada berita kecil soal Ki Dalang itu, banyak yang tahu. Kalau keris itu sampai dicari-cari, itu artinya keris yang penting. Keris sakral. Bagi kolektor, itu bisa jadi barang berharga yang nilainya fantastis."


"Masuk akal. Terima kasih atas infonya, Pak."


"Ya, Pak. Silakan dimakan!"


Aku mengangguk.


Sekarang aku harus segera menemukan cara. Bagaimana aku bisa menemui Mustika tanpa harus melibatkan bapaknya. Akan sangat lebih baik jika aku mengembalikan keris itu tanpa sepengetahuan siapa pun. Hanya dua orang yang semula terlibat, aku dan Mustika. Maka, hanya kamilah yang harus menyelesaikannya. Aku khawatir masalah akan berbuntut panjang jika bapaknya mengetahui akulah yang membawa. Tapi, jika Mustika sudah telanjur menceritakannya, sudah jelas selama ini Ki Dalang berusaha mengambil keris itu dariku.


Aku tersadar sesuatu. Lalu, apa mungkin seseorang yang mencelakakan Fizah pagi itu adalah tanda peringatan untukku? Bahwa aku diperintahkan agar segera mengembalikan keris itu? Ini cukup masuk akal apabila Ki Dalang tahu Fizah sudah menjadi calon istriku. Dia menggertakku melalui orang di sekitarku.


Tiba di rumah.


Gemericik air pancuran kolam meningkahi semilirnya udara pagi. Melantanglah suara dari arah selatan, bakul sayur keliling yang memecah keheningan telingaku. Lalu, menyusul teriakan ibuk dari pintu garasi mobil dan sepeda. Ibuk berlarian seraya menyuruh bakul itu berhenti. Sekilas aku kepikiran konsep pernikahan yang akan kugelar di halaman rumah ini. Tepat di posisi bakul itu berhenti, aku mencoba memperkirakan di situlah nantinya pintu masuk para undangan. Pintu dari selatan, lalu dekorasi menghadap ke barat. Melintaslah anak kecil di depan pagar rumahku. Kontan aku memanggilnya. Aku kepikiran sesuatu.


Anak kecil itu menghadapku sembari minum saridele di plastik. Aku bercongkang di depannya. Kurogohkan uang dari saku celanaku. Kebetulan nylempit uang sepuluh ribu satu lembar. Kuberikan pada dia. Mukanya berubah riang. Aku menghalaunya saat dia langsung hendak pergi setelah mengantongi uang itu tanpa berterima kasih.


"Kakak minta tolong bentar aja."

Lihat selengkapnya