*POV Tsaniya Tabriz
Apakah ini memang sudah tiba waktunya semua masa laluku akan terbongkar? Dengan adanya penangkapan Pak Nizam yang dijadikan umpan itu, muncul satu pertanyaan apakah aku terlibat masalah dengan seseorang. Aku tak bisa tenang. Lebih tepatnya mengkhatirkan diriku sendiri, bagaimana ke depannya nanti. Dan, kenapa harus Pak Nizam yang menjadi umpannya? Apa karena dia calon suamiku, lalu Pak Su pasti mengira aku akan menjemputnya. Walaupun bagaimanapun aku memang tidak akan tega bila menyaksikan orang lain terluka karena diriku. Terlibat masalah seserius ini.
Aku penyebab semua ini. Aku jugalah yang telah menyuruh Pak Nizam segera pulang untuk mengembalikan keris itu. Semoga saja keris itu telah dikembalikan pada pemiliknya.
Beberapa kali abang menolehku. Kelihatan ingin bertanya, tapi menahannya. Ya, aku memang tak mengajaknya bicara sama sekali sampai perjalanan telah terlalui dua jam. Sulit bagiku mempersiapkan mental. Bahwa suatu hari nanti masa laluku pasti akan diketahui oleh abah, ummik, abang, Kak Ulya, dan Pak Nizam. Aku tercenung memikirkan hari itu. Rasanya sudah semakin dekat. Ditambah dengan gerak-gerik abang yang juga sudah merasakan ada sesuatu yang aneh padaku.
"Ngelamunin apa?"
"Abang fokus nyetir aja. Jam tuju, Bang. Kita harus segera sampai."
"Dek, Abang mau kamu jujur. Ada masalah apa? Ini bukan masalah biasa. Ini serius, kan? Pak Nizam dijadikan umpan agar kamu datang. Siapa yang mengancam? Musuhmu?"
"Aku nggak punya musuh, Bang."
"Lalu?"
"Please, Abang jangan bicarakan ini sekarang, ya. Aku belum bisa jawab."
Abang mengalah. Tapi, pada akhirnya pertanyaan itu akan tetap diulang. Lalu, nantinya aku pun harus bicara. Membuka rahasiaku sendiri.
"Ya Allah, aku percaya bahwa kesulitan itu selalu disertai kemudahan. Yakinkan aku, Gusti. Semuanya akan baik-baik saja. Kalaupun terjadi, semuanya tidak akan seburuk yang aku bayangkan. Hanya itu pintaku, Ya Allah," rapalku dalam hati.
Azan magrib berkumandang. Kami sudah berada di Jember. Tapi, kami harus turun sebentar untuk melaksanakan salat magrib jamak taqdim. Meski keadaannya mendesak, abang tak ingin mengakhirkan salat. Abang justru menyuruhku menambahkan salat hajat dua rakaat.
Pukul 18.10 kami berangkat lagi.