*POV Tsaniya Tabriz
Abang berbisik, "Seharusnya kita menelepon polisi tadi, Dek."
"Abang bener, tapi sekarang udah nggak bisa." Aku berbisik lebih lirih.
Aku kembali menatapnya.
"Kita bicarakan baik-baik atau sebaliknya kamu akan celaka seperti malam itu." Sebetulnya aku tidak yakin dengan apa yang aku katakan. Aku sendiri tidak tahu kenapa peristiwa janggal terjadi malam itu.
Abang menatapku tak mengerti. Wajahnya menelisik.
"Jangan banyak bicara! Aku tidak menyukai orang munafik sepertimu. Habisi mereka berdua!"
Seketika abang mendorongku agar aku tersisih. Aku tersungkur. Tanganku yang masih terluka pun terasa nyeri karena telapakku menghantam lantai. Aku bingung harus berbuat apa. Abang harus berjuang sendirian melawan enam orang itu.
"Abang harus tangguh. Abang harus bisa." Kurapalkan dalam hati.