*POV Ibban Nizami
"Bah, boleh saya bercerita sesuatu?"
Ngaos kitab dengan Abah Bahar sampai jam setengah sembilan malam sudah selesai. Aku sengaja tetap berada di musala jam sembilan. Kutunggu abah yang sedang menyelesaikan witir dan wiridnya.
Kayu jati yang usianya sudah puluhan tahun ini masih berdiri kuat dan kokoh menyangga atap pendopo. Lantai kayunya memberikan efek dingin dan suasana yang nyaman. Sesekali aku memejam mata. Tak ada yang aku lakukan selain ikut berzikir Ya Lathif.
"Zam? Tangi!" Abah menepuk pundakku.
Aku melek.
"Abah. Ohhh...Nggeh, Bah?" Aku menegakkan punggungku. Mengusap wajah. Membenahi ujung rambutku yang menyembul dari tepi kopiah.
Abah duduk di depanku seraya bersila. Tetap menggerak-gerakkan tasbih.
"Zam, sampeyan opo bener-bener purun karo Tsaniya?"
Terjemah: (Zam, apa kamu benar-benar menginginkan Tsaniya?)
Apa artinya pertanyaan itu? Aku mencermati. Aku cukup terkejut abah justru melemparkan pertanyaan semacam itu, sedangkan abah sendiri yang memilihku dengan cara menanyai kesiapanku mengabdi. Pertanyaannya seperti sedang memastikan, tetapi nada itu menyiratkan kecemasan. Raut wajah abah sedang gelisah.
"Enggeh, Bah. Saya siap mengabdi di sini."
"Sepurane yo, Zam."
Abah malah meminta maaf. Aku berusaha menatap abah. Menjangkau maksud abah lewat tatapan itu.
"Enggeh. Njenengan tidak ada salah apa-apa, Bah."
"Sepurane yen penyuwunane Abah iki mberatne sampeyan."
Terjemah: (Maaf kalau permintaan Abah ini memberatkan kamu)
"Tidak memberatkan, Bah."
Abah memegang pundak kiriku. "Zam, matur suwun yo."
Sikap abah membuatku salah tingkah. Siapa aku sehingga abah meminta maaf dan berterima kasih dengan nada dan tatapan begitu? Aku tidak pantas diperlakukan sedemikian baiknya. Sedangkan, aku belum memberikan apa-apa yang berarti untuk abah dan pesantren ini.