*POV Tsaniya Tabriz
Masalah telah usai. Satu per satu masalah itu pergi dariku. Tapi, masih ada satu hal yang kupikirkan hingga saat ini. Masalah yang menjadi bayang-bayang langkahku. Mengikuti ke mana pun aku pergi. Rasa malu itu kian bertambah besar saat aku memikirkan abah, ummik, dan abang. Aku ingin bisa menghadapi itu dengan tegar, tapi aku belum bisa. Aku tak cukup mampu untuk memupuk keberanian itu. Kadangkala aku merasa mereka hanya berpura-pura memahami, tapi hati mereka sangat ingin mengetahui. Tuhan, bisakah Engkau sedikit saja menghilangkan semua keraguan dan ketakutan itu? Aku hanya perlu bercerita bagaimana itu bisa terjadi. Bayangku hanya mampu sampai sejauh itu. Aku tak sanggup menceritakan apa yang pernah kulakukan dan apa saja yang telah aku ketahui di sana.
Bagaimana dengan Ratna? Saking sibuknya aku mengurus diri sendiri, aku hampir saja melupakannya. Bagaimana kehamilannya? Kuputuskan ke Darul Amin untuk menemuinya. Tapi, aku berharap aku tidak menemukan Yazeed di sana. Aku masih ingat pertemuan di telaga itu. Di atas perahu kami pernah saling mengungkapkan perasaan, lalu akhirnya harus mengikhlaskan sebelum semuanya perlahan membesar. Sebatas kuncuplah, perasaan itu terpaksa ditebas. Dan, hanya dengan doalah hati akan lekas mengikhlas. Aku ingin menemui Ratna tanpa harus bertemu dengannya.
Aku tak meminta tolong pada Kang Bimo. Ummik juga masih repot dengan mbak-mbak di dapur mempersiapkan jamuan untuk hafiz dan tamu undangan pada acara simak Alquran selapanan khusus putra. Tempatnya ada di pendopo masjid. Yang datang lebih dari dua ratus orang. Abah sedang mengaji dengan hufaz yang kalau tidak keliru undangannya ada enam orang. Jadi, aku pergi tanpa pamit.
Kuhampiri kang santri yang tengah berjaga di barisan motor dan mobil.
"Kang, aku nitip pesan, ya. Kalau Abah atau Ummik nyari, atau siapa gitu yang nyari aku, njenengan bilang saja aku ke Darul Amin."
"Ngapunten sama siapa, Ning?"
"Sendiri."
"Waduh. Sebentar sebentar." Dia berlari ke arah kamar santri putra. Dia mengetuk kamar pengurus. Kang Kusno terlihat sedang mencariku dengan tatapannya.
Aku tahu, aku belum diperbolehkan keluar tanpa penjagaan. Minimal ada sopir yang mendampingi. Tapi, sopir pesantren juga hanya ada satu. Kang Bimo yang tidak sedang di tempat, entah ke mana. Sebetulnya aku juga ingin meminta tolong padanya, tapi saat acara begini dia juga pasti akan wira-wiri.
"Kang Bimo nggak ada, Kang Kusno. Aku insyaallah bisa jaga diri baik-baik."
Kang Kusno memperhatikan lenganku yang masih diperban.
"Insyaallah nggak apa-apa."
"Ada motor, Ning? Kalau ada coba saya antarkan. Nanti kami kena dukone Ummik, Ning. Ada mboten?"
"Gapapa, Kang. Serius. Aku bisa sendiri kok. Minta tolong dipesankan greb aja bisa?"
"Greb?" Dia menoleh ke santri lainnya. "Hape pondok ada greb nggak?"
"Harus download dulu, Ning. Agak lama."
"Oh gitu, ya. Pak Nizam mana?"
"Tadi katanya mau siap-siap pulang. Itu di kamar masih beres-beres."
"Loh dia nggak ikut semaan ya?"
"Ikut, Ning. Paling dua jam tadi."
"Dia punya aplikasinya. Tolong panggilkan dia, Kang!"
Dia mengangguk. Berlari.
Lima menit kembali.
Aku dan Pak Nizam menyisih. Malu kalau diperhatikan santri yang sudah jelas tahu kami calon suami istri. Harusnya kami dipingit. Karena sering bersama sebelum menikah itu akan menawarkan rasa bahagianya, just my opinion.