*POV Tsaniya Tabriz
"Kalau aku sudah lahiran, dia minta aku keluar dari sini. Katanya aku sudah sehat. Padahal, aku sehat kan, Zah. Dia nyuruh aku pulang sama keluargaku. Dia mau bantu aku menemui mereka. Tapi, Zah, ada satu hal yang bikin aku kadang masih mikir.."
"Apa orang tuanya bener mau anaknya yang masih bujang, mapan, berpendidikan menikahi wanita sepertiku?"
"Aku pernah mikir kaya kamu, Ratna. Tapi lebih baik kamu jangan merendahkan dirimu sendiri seperti ini."
"Zah, tapi kemungkinannya masih belum pasti. Aku belum tahu dia sudah mengenalkanku pada orang tuanya atau belum. Katanya, dia hanya punya satu orang tua yaitu ibunya."
"Kalau dia ke sini lagi tanyakan itu. Seberapa jauh dia serius sama kamu. Aku nggak mau kamu sakit lagi, Ratna."
"Aku sehat, Fizah. Aku nggak sakit."
"Kamu beneran sudah sehat?"
"Aku nggak pernah sakit, Zah."
Aku mengalah.
"Ngomong-ngomong kamu udah ingat siapa saja keluargamu?"
"Belum, Zah. Ingatan mereka terus tenggelam. Seakan-akan aku nggak boleh lagi mengingat mereka."
"Aku selalu berdoa agar kamu mendapatkan yang terbaik."
Dia tersenyum lagi. "Lalu, kamu, Zah. Apa kabar? Aku lama nggak dengar kamu cerita sesuatu."
Ya. Aku sudah banyak merahasiakan sesuatu darinya. Dia tidak tahu semua yang aku alami. Perjodohanku dengan Pak Nizam, penangkapan Pak Su dan Hakim, dan termasuk siapa diriku yang sebenarnya.
"Auuuuh."
"Eh.." Dia terkejut. Tangannya tak sengaja menekan lenganku.
"Kenapa, Zah? Kamu sakit?"
"Iya lenganku luka."
Saat aku ingin menyebut nama Sumarjo, aku takut. Aku tak bisa membiarkan semringahnya Ratna hari ini seketika sirna ketika dia mendengar nama Sumarjo. Selamanya nama itu akan tetap terkenang dalam ingatannya.
"Enggak cuman luka dikit aja."
Aku ingin menceritakan semuanya. Tapi, kurasa itu akan menjadi percakapan yang sangat panjang. Aku tidak bermaksud untuk merahasiakan. Tapi, sudahlah itu telah berlalu. Urusanku dan Ratna dengan Pak Su telah berakhir malam itu. Hanya masalahku yang harus perlahan kuhadapi. Ratna cukup mengetahui bahwa dirinya sehat, sudah mendapatkan calon suami, dan dia akan melahirkan bayinya. Dia tak perlu tahu lagi masa lalu yang justru akan menyakitinya.
"Aku baik-baik aja. Kamu yang harus tetap baik-baik, ya. Pak Iman semoga menjadi pengganti terbaik. Tapi, nggak usah terlalu berharap ya, Ratna."
"Aku tahu, Zah. Aku sadar."
"Nggak. Nggak gitu maksudnya. Kamu sekarang fokus sama kehamilan sampai nantinya bayimu lahir dengan selamat. Ratna, aku juga sangat menantikan kamu akan menjadi ibu sepenuhnya."
Pandangannya jatuh ke tanah. Bibirnya melengkung. "Zah, doakan aku. Kamu kan solehah. Katanya kalau deket sama Allah, doanya akan cepat dikabulkan."
"Kamu juga solehah. Kita bisa menjadi wanita solehah sama-sama. Ngaji, solat, puasanya jalan kan?"
"Lumayan. Semua karena Yazeed. Yazeed emang baik banget."