Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #188

Keberanian

*POV Tsaniya Tabriz


Aku berubah pikiran. Memendam rahasia dalam ketakutan membuatku jarang tidur nyenyak di malam hari. Bahkan, terkadang mimpi-mimpi buruk menghantui dimana suatu hari nanti akan ada masa rahasiaku akan diketahui orang lain. Ratna adalah kunci dari rahasia ini. Jika Ratna tak bercerita kepada siapa pun, maka selamanya rahasia itu akan aman. Tapi, setelah aku berpikir panjang sebelum menjelang tidur, aku memutuskan akan mengatakannya pada abah dan ummik besok. Hanya kepada mereka berdualah aku akan bercerita. Sama halnya aku pernah bercerita pada ibuk, lalu ibuku memahamiku dengan perasaannya yang tulus. Aku berharap mereka berdua bisa bersikap lebih daripada itu, karena mereka orang tua kandungku.


Usai abah ngaos kitab dengan para santri dan ummik menyimak Alquran sampai pukul sembilan malam, aku meminta mereka untuk tinggal di ruang tengah beberapa menit saja. Aku meminta itu dengan perasaan tak tentu. Aku tengah memaksa, melawan semua perasaan takutku. Kutinggalkan Alquranku di meja kamar. Aku menghampiri mereka yang justru sudah terduduk lebih dulu. Wajah ummik menunggu, sedangkan abah dengan ketenangannya menyalakan televisi. Aku hanya sedikit membatin, tak biasanya abah kerso (mau) menonton televisi malam-malam begini. Bahkan, aku tak pernah tahu abah menyalakan televisi saat pagi atau siang hari pun. Abah tak menatapku. Malah mengganti-ganti cannel.


"Nduk, eneng opo (ada apa)?"


Kutelan salivaku. Aku mengulur napas yang panjang.


"Bah, Mik, Niya ingin cerita serius."


Seketika berpacu begitu cepat. Aku tak berani mengangkat wajah terlalu tinggi. Kubuang pandanganku ke motif bunga pada karpet turki yang dulu pernah dibeli saudara yang pernah kuliah di Turki.


Aku belum mendengar abah merespons. Abah justru tertawa kecil melihat siaran ulang film kartun. Perlahan hatiku diliputi ketenangan. Suasananya tidak lagi beku.


"Kejadian wingi to?"

Terjemah: (Kejadian kemarin, ya?)


Ummik yang terus menanggapi.


"Enggeh, Mik. Begini..."


Saat aku mulai bercerita perlahan-lahan, suara televisi pun dikecilkan. Tapi, abah tidak mematikannya. Abah dan ummik serius menyimakku bicara. Aku mengatakan dengan jelas siapa yang membuatku harus terlibat dalam kejadian kemarin, apa motifnya, dan kujelaskan siapa Pak Su yang sebenarnya. Aku hanya mengatakan bahwa Pak Su ialah bapak kandung Hakim yang dulu kuanggap sebagai kawan baikku. Kuberanikan mendongak. Ummik menegang. Berbeda dengan abah yang tetap tenang mendengarkan seluruh kalimat yang masih kusampaikan seperempatnya.


Aku juga menjelaskan detail bagaimana kejadiannya. Ummik berubah nelangsa. Mungkin ingat ada dua laki-laki yang hampir berkorban nyawa. Sampai pada keterangan aku mengatakan bahwa Pak Su dan Hakim akhirnya ditangkap. Wajah mereka pun tampak lega.

Lihat selengkapnya