*POV Tsaniya Tabriz
"Mik, kangen sama Ibuk. Niya ingin di sini dulu, nggeh."
"Yowis lek sampeyan pengen neng kene disek ndak opo-opo," kata abah. Seketika ummik menoleh, berbisik mengggil bah.
Terjemah: (Ya sudah kalau kamu ingin di sini dulu tidak apa-apa)
Ummik kembali menatapku. "Nduk, sampeyan pengen neng kene sampek kapan?"
Terjemah: (Nduk, kamu ingin di sini sampai kapan?)
"Monggo dhaharane (silakan makanannya)." Ibuk meletakkan dua piring gathot. Lalu, kembali ke dapur.
"Tidak tahu sampai kapan, Mik."
Aku tetap merasa perlu menjauh sebentar saja. Aku butuh ketenangan.
"Ya uwis, Nduk. Ummik ndak mekso."
Terjemah: (Ya sudah, Nduk. Ummik tidak memaksa)
"Bah, monggo wangsul mawon lek ngoten."
Terjemah: (Bah, ayo pulang saja kalau begitu)
Ummik beranjak. Aku tergagap. Aku ingin menahan ummik pergi, tapi aku masih ingin tinggal. Rumah lamaku adalah tempat bagiku untuk kembali menuntaskan semua perasaan. Maka, saat aku kembali ke pesantren, aku bisa menghadapi pernikahanku dengan bahagia.
Karena ummik memaksa abah segera beranjak, akhirnya mereka pun bergegas. Termasuk abang dan Yazeed. Mereka berniat pamit sebelum ibuk menyuguhkan. Aku mematung. Hatiku menyuruhku tetap tinggal, sedangkan akalku tak setuju aku membiarkan ummik pulang dalam keadaan kecewa. Setelah mendengarkan rasa bersalah ummik, aku jauh lebih merasa keliru karena terburu-buru mengatakan kejadian yang sebenarnya. Kakiku enggan menyusul langkah mereka.
Ummik mendahului jalan. Sedangkan, abah menatapku diam. Aku membalas tatapan itu, tapi tak berani berlama-lama. Begitu juga abang dan Yazeed. Abang menghela napas seperti entah ingin berkata apa. Lalu, Yazeed menyampaikan pesan dalam sorot mata dinginnya.
Aku tertunduk. Abang, abah, dan ummik sudah keluar. Yazeed kembali duduk. Membungkukkan badannya agar dapat menjangkau wajahku yang terus kusembunyikan.
"Hei, jangan kaya gitu sama Ummikmu. Aku nggak kaupunya sikap seperti itu sama orang tua." Nadanya tak kasar. Justru melembut daripada terakhir yang kudengar sebelum pulang dari pondokannya. Tapi, aku tidak berani mendongak.
"Hei, Niya? Kaubiarkan Ummikmu marah?"
Aku mendiamkannya.
"Aku kecewa. Nggak seharusnya kau mengabaikan permintaan Ummikmu pulang."
Aku menelan ludah.
"Yaz, kamu nggak tahu gimana perasaanku, Yaz. Aku butuh keberanian yang sangat besar untuk menceritakan pada Abah dan Ummik. Kupikir aku akan seterusnya lega karena sudah bercerita. Ternyata tidak, Yaz. Apalagi aku mendengar Ummik jadi menyalahkan dirinya sendiri. Kalau aku nggak cerita, Ummik tidak akan kepikiran."
"Hati nggak selamanya bener. Kasih akal biar lurus. Ayo pulang!"
"Yaz?" Aku memohon dengan mataku.
"Sebelum Ummikmu berpikir ke mana-mana, sekali lagi aku ajak kamu pulang. Dengarkan aku! Kalau kamu memilih tinggal di sini, mengabaikan permintaan Ummikmu, Ummikmu bisa berpikir kau belum sepenuhnya menganggap Ummikmu sebagai ibu."
"Nggak gitu, Yaz. Aku nggak ada maksud ke sana."
Yazeed bangkit. "Pulang, Niya!"
Tetap saja aku ingin bersikukuh di sini.
"Aku baru tahu. Ya aku baru tahu ternyata sikapmu yang sebenarnya memang begini. Oke. Aku mengerti sekarang."
Mungkin Yazeed sudah menganggapku egois. Mengutamakan perasaan daripada akal sehatku. Aku juga memikirkan ummik dan abah. Aku tak sepenuhnya egois.
Gawaiku bergetar. Kurogoh dari saku jubahku.