*POV Tsaniya Tabriz
Begitu cepat aku menemui suasana seperti ini. Aku tidak tahu aku sedang bersedih atau bahagia. Tapi, ini sudah menjadi pilihanku. Aku menerimanya dengan kesadaran akalku. Semuanya telah dipersiapkan sejak kemarin. Dan, setidaknya aku bisa menikmati gegap gempitanya pesantren malam ini. Aku menamainya henna night.
Tidak ada para undangan. Malam henna ini dirayakan oleh seluruh santri. Hiruk pikuknya melebihi acara haflah. Karena semua benar-benar bersuka cita atas pernikahanku yang akan digelar esok hari, hanya tinggal esoklah aku akan menyandar status sebagai seorang istri. Ada musik gambus yang dimainkan sejak ba'da isya setelah semuanya usai berjamaah. Santri-santri putra pun menambah suasananya menjadi semakin meriah. Sekali musik dimainkan, satu sampai empat santri putra mulanya berdiri, lalu menari zapin. Begitu lanjut pada lagu berikutnya, musik gambus itu membuat para santri lainnya beramai-ramai berdiri. Mungkin ada sekitar dua puluh orang yang menari berputar-putar sembari bertepuk tangan, lalu mengganti arah putaran dengan formasi melingkar.
Pintu kupu tarung ndalem ini dibuka lebar-lebar. Tim dari pihak wedding organizer yang malam ini sudah datang untuk memasang dekorasi memulainya dengan memasang bunga hidup di bingkai pintu. Dua orang sibuk memasang sambil berdiskusi agar penempatan bunganya terlihat estetik. Karpet merah untuk menutupi seluruh halaman pesantren telah dipasang. Untuk itulah para santri bisa dengan bebas duduk-duduk, tiduran, atau sepuasnya menari zapin di depan ndalem. Untuk sementara seluruh tanaman di depan ndalem dipindahkan ke halaman pondok putri. Aku pun menjadi lebih bebas memperhatikan para santri-santri itu tertawa begitu lepas. Bergerak tanpa beban.
Aku tengah menikmati musik itu juga sambil manggut-manggut. Sebetulnya aku ingin sekali ikut menari. Tapi, henna harus cepat selesai. Kubiarkan tangan kiriku dipegang mbak yang dipasrah melukis henna di tanganku. Aku duduk di lantai beralaskan bantal tipis berwarna putih. Di depan dekorasi yang akan digunakan nanti untuk berfoto dengan keluarga besar.
Belum ada pukul delapan malam. Kendaraan yang membawa bunga-bunga hidup dan imitasi, papan dekorasi, kursi-kursi tamu, kursi pelaminan, sleyer terop, semuanya datang malam ini dalam dua truk. Tim pekerja yang keseluruhannya laki-laki, mereka turun mengangkat barang-barang itu ke tengah halaman dan ke sebelah timur. Karena nantinya dekorasi akan menghadap ke barat, terletak di depan masjid pendopo yang kini dipenuhi kasak-kusuk sebagian mbak-mbak santri yang tidak bertugas di dapur ndalem atau dapur pontri.
Nyala lampu berpijar di seluruh sudut pesantren. Semua santri melakukan kegiatannya masing-masing. Ummik, Kak Ulya, dan Mbak Ufi mengkomando semua persiapannya. Mbak-mbak dibagi menjadi beberapa kelompok. Khusus mbak-mbak santri, mereka diberi tugas membungkus makanan dan buah khusus tamu agung, seperti untuk para habib, kiai, dan seluruh guru mulia yang akan menjadi tamu besar di acara akad nikah besok pukul empat sore. Kelompok lainnya juga membungkuskan parsel buah dengan isi yang berbeda untuk tamu agung ketika walimatul 'urs. Berhubung sebagian dari para santri ada yang pandai membuat kue, kue untuk tamu undangan ketika datang diracik khusus oleh tangan santri tersebut. Setelah kue matang dan dibawa semuanya ke beranda masjid, kue itu segera dipotong-potong, lalu dimasukkan ke kardus-kardus yang sudah diisi sebagian dengan buah jeruk mandarin, pie kacang dan sebagiannya pie nanas, dan air mineral.
Ada dua orang pria di depan gerbang membawa dua kresek besar. Ummik meminta empat santri mendekati mereka. Pria itu datang membawakan pesanan souvenir garpu sendok dan sumpit yang diletakkan dalam kotak bertuliskan nama kedua calon pengantin. Semuanya terbuat dari kayu. Meskipun murah, tapi setidaknya sudah cukup pantas jika dibawa pulang oleh tamu-tamu undangan yang jika hadir keseluruhan bisa mencapai enak ratusan orang. Di luar jumlah santri. Souvenir langsung dibawa ke ndalem.
"Ditaruh di mana, Ning?" Mereka dari dalam. Lewat pintu dapur yang dibuka. Mereka tidak akan bisa lewat pintu depan karena pasti malu berpapasan dengan sekumpulan arek putra yang masih bersuka ria menikmati alunan musik.
"Oh, itu di dapur saja."