*POV Tsaniya Tabriz
Pesantren telah tersulap menjadi tempat yang sangat indah. Dekorasi acara henna tadi malam dibiarkan saja. Beberapa bantal duduk ditata sesuai jumlah tamu agung. Buah-buah, kue basah, kue kering, dessert, appetizer disajikan di piring besar dan sedang berwarna putih. Dipasang bukhur di pojokan ruang tamu dan bunga hidup di dalam vas. Sementara depan pintu hingga batas teras didekor bunga-bunga gantung. Dimana nanti kedua mempelai nantinya akan dipertemukan di sana. Lalu, ratusan kursi yang disarungi kain warna gold sudah dipasang rapi sesuai dengan keseluruhan jumlah undangan. Kursi-kursi tersebut ditata di atas karpet hijau. Tepi halaman kanan kiri, sekitar satu meter, digunakan pengantin dan arak-arakannya menuju mimbar pelaminan. Mulai dari gerbang masuk, lalu tepi selatan hingga tepi paling barat menuju teras ndalem juga dipasang bunga-bunga gantung sampai di depan teras membentuk leter. Lampu standing berbentuk bunga terompet dan tulip dipasang mengelilingi seluruh halaman.
Kuakui abang memang pandai memilih wedding organizer untukku. Hanya saja pernikahan abang tidak semewah ini. Bagiku ini sudah luar biasa. Tiada nikmat yang bisa aku dustakan.
Prosesi rias pengantin, manggala putra putri, penerima tamu, dan bapak ibu dilakukan di ruang tengah, bagian ndalem yang tempatnya paling luas. Semua keluarga berkumpul. Keluarga dari jauh datang sejak kemarin sore. Beberapa dari mereka ada yang kumintai menjadi manggala dan unyil. Untuk penerima tamu sengaja aku ambilkan enam santri putri. Harusnya salah satu dari mereka adalah Mbak Ufi, tapi dia menolak dengan alasan malu jika bertemu dengan Yaz dan juga repot menjadi seksi perdapuran. Mereka mengantre satu per satu kepada empat perias lainnya. Sedangkan, owner wedding kini sedang meriasku sejak satu jam yang lalu.
Masih ada waktu satu setengah jam lagi menuju jam akad nikah. Mbak Lala namanya, dia masih sibuk melukis alisku. Berkali-kali dia membenahi. Membuatnya sampai benar-benar simetris dan senatural mungkin. Kira-kira ada sekitar lima belas menit barulah dia menyemprotkan setting spray agar make-up lebih tahan lama. Lanjut ke pemakaian bedak padat, contour luar, blush on, eyeshadow, eyeliner, mascara, bulu mata palsu, dan lipstik. Sampai ke tahap paling akhir dia mengambil highlighter. Lalu, memakaikannya pertama di tulang hidungku, kedua pipiku, dahi, dan terakhir di daguku. Aku mencoba tersenyum untuk memastikan highlighter ini sudah sempurna membuat tulang pipiku terlihat lebih menonjol walaupun tanpa blush on warna natural.
Kurang lima belas menit menuju pukul empat sore.
Aku bersiap diri menunggu di depan cermin. Selama prosesi akad nikahnya nanti, aku tidak akan berada di masjid pendopo. Aku tenang di sini. Melebur semua perasaan-perasaan ambigu yang mulai berkeliaran di pikiranku. Kulalar hafalan sebisaku. Tapi, ternyata suasana dan apa yang akan kuhadapi menggagalkan semua fokusku. Akhirnya aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menatap cermin dan menoleh sekitar. Memandangi ruang tengah yang penuh dengan peralatan rias, gaun dan kebaya, sandal sepatu, dua ring light, dan prosesi rias para santri dan keluarga yang belum selesai. Kemungkinan mereka baru akan selesai menjelang magrib nanti.
Tanganku berkeringat. Tissue yang kugengggam pun menjadi basah. Kuambil lagi tissue yang lain di depanku. Kuminta mbak owner agar mendekatkan kipas.
"Awas nanti masuk angin, Ning. Apa sudah makan?"
"Terakhir jam dua tadi."
Dia menoleh ke sebelah kirinya. Melambai santri yang baru saja dari ruang tamu.