*POV Ibban Nizami
Masjid seketika menjadi hening. Suara santri yang merdu itu membahana hingga menenggelamkan bisik-bisik santri lainnya. Aku mendengarkannya dengan khitmad agar jantungku berdetak lebih pelan. Ternyata di saat beginilah aku bisa menjadi sangat gugup. Aku berusaha sedemikian hormat dengan menundukkan kepala kian dalam. Kuusapkan tangan ketika qari menyudahinya dengan tasdiq.
Kemudian, khutbah nikah dibacakan oleh al-mukarram Habib Ahmad Fadil dalam waktu sepuluh menit saja. Lanjut pada acara inti yaitu aqdun nikah. Kuhirup napas dalam-dalam. Kurapikan jas putih dan kopiahku sebentar.
Abah Bahar telah mewakilkan perwaliannya kepada Habib Salim. Lantas Habib Salim berdiam dengan penuh khidmat. Memegang mikrofon dengan tangan kiri. Flash kamera pun beberapa kali menyala. Beliau berdehem sekali.
“Bismillahirrahmanirrahim. ...... abdul ladzi lilhanaa lil islaami wal imaan. Wa man ‘alaina bittibaa’ina linnabiyyinal haqqi wal bayan. Wa arsyadana lisyara’ihi wattiba’i hukmihi watilawatil qur’aan. Wa asyhadu anla ilaha illallah, wahdahu laa syarikalah. Al kholiqur razaqul karimul mannan. Wasyhadu anna sayyidana wa maulaana muhammadan ‘abduhu wa rasulullah. Al mustafa min adnan. Shallallahu ‘alaihi sallam wa ‘alihi wa ashhabihi wattabi’i wattabi’in ‘ala marridhtuhuri wal isman. Aamannaa bisysyarii’ah.....ila akhirihi."
Habib Salim meraih tanganku. “Ya Ibban Nizami, hadzaa zawwajtuka wa ankahtuka mahtubataka Tsaniya Tabriz binta al-mukarrom Kiai Haji Baharuddin Ma'ruf, al adzilli muwakkili bitazwiji minka waliyyuha syar’an bi mahri tis'ati jaramaatin minadzdzahabi wal fadhdhoti wa milyunaani wa tsamaani miatan wa itsnaani wa tsamaanuna alfan wa miataan rubiah Indonesia, halan."
Aku tarik napas. Lalu kulepas kan kalimat itu dengan pelan dan jelas, “Qabiltu nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuur.” Lega. Rasanya memang sangat tidak dapat diukur dengan apa pun. Pada intinya aku sangat bersyukur. Akhirnya aku bisa menghalalkan putri Abah Bahar pada sore hari ini dengan lancar tanpa halangan sedikit pun.
Para saksi dan semua orang yang ada di masjid serempak mengatakan sah tanpa ragu. Mereka metakqidkan kata itu dengan teriakan lantang.
Flash kamera menyala bergantian.
Mikrofon diberikan kepada Habib Mustofa yang akan melangitkan doa. Hanya lima menit. Mikrofon berpindah kepada Kiai Dzul Ghofur, Kai Bastomi, Kiai Kariim, Kiai Nashir secara berurutan. Dua puluh menit kemudian doa selesai dipanjatkan.
Aku diminta abah supaya beranjak untuk menjemput mempelai putri yang tengah bersiap di ruang tamu ndalem. Dua kameramen langsung berlari mendahului jalanku, mengarahkan kameranya ke arahku. Aku memegang krah jas dengan maksud agar kelihatan seperti tengah membenahi.
Aku berhenti sejenak saat hendak memijaki teras ndalem. Aku berdoa barang semenit. Kameramen begitu serius mengambil setiap gerakanku yang sekiranya nanti terlihat apik dalam video. Aku memasuki ndalem pelan-pelan. Ummik dan Bu Mini menyambut di depanku. Mengarahkanku agar berjalan terus. Lalu, menyuruhku berhenti di depan kamar yang tidak terlalu luas. Saat pintu itu dibuka perlahan-lahan, terlihat sepintas ranjang di kamar itu telah dihias dengan sangat indah. Tapi, keindahan itu tak akan melebihi kecantikan perempuan yang berdiri di depanku dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan. Dia hanya tersenyum begitu tipis, tapi sangat memesona.
Gaun putih itu berpadu serasi dengan lengkungan senyumannya yang elegan. Juga karakter wajahnya yang sepintas tampak dingin, tapi begitu diperhatikan dia akan sangat menawan dan menawarkan kedahagaan. Selain karena riasan telah mengubahnya menjadi dua tingkat lebih cantik, sorot kedua matanya selalu menawarkan rahasia alam yang belum pernah terjamah oleh manusia sembarangan.
*POV Tsaniya Tabriz
Kini aku menatapnya dengan pasti setelah menahan gejolak luar biasa saat detik-detik ijab qabul itu akan terlaksana. Aku berani menatapnya sebagaimana pandangan seorang istri kepada suaminya. Kami telah dilegalkan untuk saling bertatapan. Aku tak berharap dia akan mengerti kenapa aku menatapnya seperti ini. Tapi, aku hanya ingin mencoba menawarkan cinta dan perasaan. Aku ingin belajar untuk melakukannya sejak saat ini meski aku belum mampu melakukannya dengan sempurna. Tapi, sekali lagi aku ingin memulainya. Maka, saat dia menyentuh kedua tanganku, aku memejamkan mata.