Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #196

Walimah 1

*POV Tsaniya Tabriz

Tamu agung yang tidak berhalangan sangat diharapkan agar tetap tinggal di pesantren. Sayangnya setelah sesi foto-foto selesai, para habib meminta pamit pulang terlebih dahulu. Mereka ada keperluan mendesak yang tidak bisa diwakilkan. Lantas, abah merayu agar para habib berkenan tinggal sebentar saja di ruang tamu ndalem, barang sepuluh menit. Ummik berbisik kepada abah karena masih ada oleh-oleh yang harus disampaikan. Tapi, mereka bertiga sepakat memohon maaf dengan sangat ramah. Lantas ummik dan ibuk tergopoh-gopoh ke ndalem. Mereka keluar dari masjid untuk mengambil parsel buah dan makanan, juga uang berkah yang sudah diniatkan dari awal harus sampai kepada mustahiq-nya.


Santri-santri masih berdiam di masjid. Aku dan suami selaku mempelai, abah, ibu mertua, dan para tamu agung keluar dari masjid lebih dulu. Kami akan mengantarkan mereka sampai ke gerbang pesantren. Aku menoleh. Beberapa santri putri membawakan semua barang-barangnya. Lalu, Mbak Ufi yang menyusul belakang membawa uang berkah itu.


Para habib pamit setelah bersalaman hangat dengan abah, cipika-cipiki dan berpelukan. Tak ketinggalan beliau bertiga menyampaikan doa dan sepenggal nasihat untuk bekalku dan suami mengarungi bahtera rumah tangga. Sekali lagi beliau bertiga memohon maaf. Lalu, suamiku mencium tangan mereka bergiliran. Aku, ummik, ibuk, dan ibuk mertua menelungkupkan tangan sembari tersenyum mengantarkan kepulangan mereka.


Santri-santri putri tadi diisyarahkan ummik agar memberikan barangnya kepada sopir. Begitu juga Mbak Ufi langsung paham. Dia memberikan amplop itu kepada sopirnya, yang tak lain para sopir itu ialah tangan kanan para habib.


"Habis ini dirias lagi?"


"Mau salat dulu, Mas."


"Cie panggil aku mas. Kok nggak keren gitu sih." Dia berbisik mesra di telingaku.


"Lha gimana? Bener gitu, kan? Ya sudah tak panggil Pak Nizam aja."


Dia malah tertawa. "Ya sudah. Salat dulu sana. Yang khusyuk. Nanti kepikiran aku." Dia ngeloyor pergi. Langsung mengalihkan pembicaraan dengan ibu mertua.


Aku harus segera membersihkan riasan. Memburu waktu. Sudah jam lima sore. Kuangkat gaunku agar lebih mudah berjalan cepat.


"Zam, itu Senduk Niya kok ndak dibantu. Dibantu, Le," kata ibu mertuaku.


Dia berlari menyusulku. Langsung mengangkatku.


"Eh, eh, nggak usah diangkat gini." Aku merajuk. Malu dilihat santri-santri putri yang bergumul di depan dapur. Kudengar mereka berteriak-teriak histeris. Santri-santri yang lalu lalang memperhatikan sembari tertawa.


"Malu lo."


"Biarin. Kamu kurus banget. Ringan banget. Berapa bbmu?"


"Cuma 45 kilo. Tapi, ini gemuk kalau ukuran perempuan usia tujuh belas."


"Oh iya masih tujubelas yo. Lupa. Kirain sudah dua lima."


"Ingat lo, nggeh. Kita ada perjanjian di awal, Mas."


Dia tidak merespons.


"Mas? Dengar mboten (tidak)?"


"Nggak denger."


Lihat selengkapnya