*POV Tsaniya Tabriz
Dan, aku sendiri awalnya juga ingin sekali ibuku didandani sampai ibuku terlihat rapi dan cantik meskipun usia sudah tidak lagi muda. Ibuku selalu menolak dengan beragam alasannya, terutama karena ibuk sungkan dan malu jika diperhatikan orang banyak. Ya walaupun semua orang sudah tahu ibukulah orang yang sudah membesarkanku. Ibuk kubujuk, tapi tetap saja dia bersikukuh. Akhirnya aku hanya memintanya memakai baju baru yang sudah kubelikan di hari sebelumnya. Khusus untuk ibuku dan ibuku harus menerimanya. Syukurlah tadi siang ibuku berjanji akan memakainya. Sekarang ibuku baru selesai mengganti baju di kamarku. Ibuku tampak malu-malu menunjukkannya padaku.
"Buk, Mbak sama Adek sudah ganti baju belum?"
Ibuk mengangguk. "Sekarang mereka di luar."
Suasana semakin padat. Bau-bau keringat, rias, wewangian membaur menjadi satu. Ketukan sendok di piring bagai musik pengiring. Orang-orang hilir mudik, berdesak-desakan membawa keluar makanan yang harus diletakkan di meja prasmanan. Bukan hanya santri putri, juru masak, dan saudara yang keribetan, santri putra pun turut andil membawakan mangkuk-mangkuk besar isi es buah, es cendol, dan bubur sumsum (jenang baning). Sate beratus-ratus tusuk dalam lima loyang besar, nasi di tremos besar ada tiga untuk sementara karena sisanya masih proses dimasak. Seperti biasa, ada menu nasi kebuli yang sekarang juga proses diracik oleh juru masak pondok. Kuah soto dan rawon dalam panci jumbo diangkat dua santri putra. Seloyang besar menu siomay dibawa Mbak Ufi dan Mbak Nuansa. Ada juga ayam crispy manis pedas, seafood kepiting udang dan cumi, pecel, nasi goreng, sayur asam, bandeng bakar, tiga jenis sambal terasi, sambal ijo, dan sambal plelek lengkap disajikan. Lalu, buah-buahan segar yang sudah dipotong-potong.
Semua menu penutup diletakkan di maja prasmanan, di depan kamar-kamar pondok putra. Tempatnya cukup luas. Sangat bisa menampung ratusan orang yang kemungkinan nanti akan berdesak-desakan mengambil makanan. Sayangnya semua akan bergumul menjadi satu, sebelah kanan untuk meja prasmanan ganu putra, sedangkan kiri meja prasmanan putri. Lalu, meja prasmanan tamu agung ada di ruang tamu ndalem.
Setengah jam kemudian. Mas Nizam mengganti pakaiannya di kamarku. Riasku hampir selesai. Tinggal finishing lipstik, highlighter, dan setting spray. Bersamaan dengan selesainya rias, Mbak Kiran juga usai memasang hijabku. Hanya kurang tambahan asesoris mahkota dan gelang, bunga mawar putih yang disematkan di bawah kepala, dan melati panjang sebelah kanan. Aku menoleh sejenak ke sekeliling. Semua rias sudah selesai. Mereka sudah bersiap di kursinya masing-masing. Mulai dari yang menunggu sembari kipas-kipas, melamun, bermain smartphone, makan, berpose di depan cermin, atau hanya sambil berbincang-bincang.
Lima sepuluh menit kemudian.
Kupakai sandalku.
Aku mencoba berdiri.
Mbak Lala menyuruhku ke depan lighting. Dia ingin mengambil gambarku untuk diposting di media sosial. Lalu, dia meminta Mas Nizam mendekat. Kami diminta berpose berdua dengan adegan seromantis dan senatural mungkin.
"Mbak, aku sendiri saja, ya." Aku kurang nyaman. Sementara semua orang memperhatikanku.