Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #200

Seroja Cinta

*POV Tsaniya Tabriz


Kulipat mukenaku cepat-cepat. Ternyata dia melanjutkan doanya sendiri. Tangannya menengadah lama. Aku sudah sangat mengantuk. Kelopak mataku sudah berat sekali rasanya. Aku menguap lagi. Aku berbaring lebih dulu. Kubentangkan selimut tebal yang baru saja dikeluarkan dari lemari. Posisi tidurku agak menepi. Kulirik dia sebentar. Dia masih berdoa. Kira-kira apa yang dia doakan hingga bisa berlama-lama seperti itu? Apakah dia akan berdoa semoga aku bisa segera luluh padanya? Apakah dia mendoakanku agar hafalanku cepat selesai? Apakah dia meminta restu pada Allah agar aku diizinkan kuliah dan hafalan bersamaan. Aku menguap lagi.


Saat dia berdiri melipat sajadah dan meletakkan kopiahnya, lalu mengganti dengan baju tidurnya tanpa pergi ke kamar mandi, dadaku merenyut-renyut tak biasa. Kututupi wajahku dengan selimut. Aku bersembunyi di sana.


Aku miring ke kanan. Membelakangi posisi duduknya di tepi ranjang sekarang. Dia lekas berbaring sembari melepaskan desah yang melenguh panjang. Dia pun pasti sangat kelelahan. Aku juga mendengarnya dua kali menguap. Aku akan terus berposisi seperti ini karena aku khawatir jika miring ke kiri.


"Agak nengah sini nggak apa-apa. Aku nggak akan gigit kamu." Begitu katanya.


Tapi, debar-debar itu masih menguasai diriku.


"Aku mau ngomong sesuatu. Bentar saja." Dia memohon.


Aku membalikkan posisi tanpa bergeser. "Ngomong apa?"


Dia pun miring ke kanan. "Kamu sudah ngantuk?"


Aku mengangguk.


"Banget?"


Aku mengangguk lagi.


"Ya sudah tidur aja kalau begitu."


"Iya." Aku berbalik posisi lagi.


Setelah beberapa menit aku belum terpejam, kurasakan tubuhku menghangat. Dia berbisik di telingaku. Debar itu menjadi-jadi. Aku benar-benar tak nyaman. Kuremas-remas tanganku.


"Aku boleh jujur?"


Dengan diamku, kuharap dia mengerti.


"Sebetulnya aku berharap kita bisa melakukan sunnah pengantin baru walau tidak sekarang. Mungkin setelah beberapa hari kita pulang ke Banyuwangi."


Nyut! Getaran itu merambat cepat. Aku ketakutan. Tapi, tubuhku semakin menghangat. Terkunci.


"Aku cuma pengen ngomong itu. Ngomong-ngomong boleh nggak kalau aku lepas jilbabnya. Nanti kamu gerah kalau tidur pakai jilbab gini."


Aku ingin berkata tidak. Tapi, apa dayaku. Dia berkuasa melakukan apa pun terhadap diriku. Aku membiarkannya. Dia menyisiri rambutku yang tergerai ke mana-mana.


"Selamat tidur. Jangan lupa doa." Dia mencium kepalaku walau dari belakang.


"Hadap sini bentar!"


Lihat selengkapnya