*POV Tsaniya Tabriz
Malam kedua.
Sehari penuh aku mendengar celoteh orang-orang mencandaiku. Bagi mereka, pengantin baru adalah mangsa yang tepat untuk dijadikan bahan candaan. Bahkan, aku perlu mengumpulkan keberanian hanya karena ingin pergi ke dapur, berbaur dengan mbak-mbak santri. Mereka memang tidak bertanya. Tapi, tatapan dan cara mereka tersenyum membuatku malu setengah mati. Namun, aku tak begitu tertarik untuk mendengarkan dan menanggapi mereka terlalu serius. Toh, Mas Nizam juga terkesan tak acuh. Hanya sesekali dia balik mencandai. Namun, selepas itu dia abaikan begitu saja.
Sejak setelah jamaah isya tadi, Mas Nizam mengurung diri di kamar. Dia menghabiskan waktunya dengan membaca, katanya. Aku pun menyusulnya ke kamar usai makan malam. Ummik yang mengetahui aku hanya makan sendirian di kursi sofa ruang tengah, dia sedikit memarahiku karena aku tak mengajak Mas Nizam makan bersama. Ummik pun memintaku ke dapur mengambilkan sepiring nasi dan beberapa lauk yang enak-enak. Kubuka pintunya, tak dikunci. Aku mengucapkan salam lirih. Begitu pula jawabannya.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah barusan."
"Kok nggak ajak-ajak?"
"Habisnya njenengan dari tadi di kamar terus. Ya sudah."
"Makan sendiri kayaknya nggak enak. Minta tolong disuapin dong, Ning."
"Mas, njenengan kok..." Pesan abah tadi lagi seketika memutus kalimatku.
"Nggeh. Aku suapin."
Ya selama dia tidak memintaku menunaikan permintaannya tadi malam, aku masih bisa dengan senang hati melayaninya. Aku mendekatinya yang tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Dia gembira sekali aku mau menyuapinya sampai habis. Kuambilkan segelas air putih dan beberapa potongan buah segar.
"Makasih, nggeh, Ningku. Maaf merepotkan."
Dia minta maaf. Kedengarannya tidak buruk. Aku menganggukinya.
"Mau apa lagi?" Aku memperlakukannya demikian karena perlakuan ummik pada abah yang sangat manis. Walaupun ummik kadang banyak bicaranya, tapi caranya memperlakukan abah patut menjadi teladan bagiku ataupun Kak Ulya. Menjadi seorang istri yang mampu memberikan pengabdian besar kepada suaminya. Dengan begitu, harapanku bisa menggantikan keinginannya yang belum bisa kupenuhi sampai hafalanku khatam nanti.
Aku ingin kembali mengingatkan, tapi rasanya sungkan. Mana mungkin dia lupa? Bisa jadi apa yang dia katakan kemarin itu hanyalah bagian dari caranya menguji prinsipku. Setidaknya dia rida dengan keputusan yang aku pilih. Karena aku sendiri juga berusaha untuk ikhlas menjalankan pernikahan ini dengan target khatam, mengurus rumah tangga, sekaligus mencari ilmu di perguruan tinggi. Rencanaku, pertengahan tahun nanti aku akan mendaftarkan diri ke kampus yang Mas Nizam tempati. Setelah dia resend dari institut negeri di Tulungagung, dia juga berencana akan mendaftarkan diri jadi dosen kampus di Magetan. Abah yang menyarankan. Supaya nantinya dia bisa menjagaku, kata abah.
"Sini, Ning!" Dia menepuk bantal yang telah dia tarik ke sisinya. Aku selalu tidur di sebelah kanan.
"Sudah cuci muka belum? Sikat gigi? Pakai parfum?"
Aku menggeleng.
"Sebentar." Aku paham maksudnya. Karena, dia menghendaki aku selalu tidak melupakan tiga rangkaian itu sebelum tidur.
"Nggak usah wudu," teriaknya. Aku sudah di kamar mandi.