*POV Tsaniya Tabriz
Dan esok paginya, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh. Saat aku membuka mata, aku sudah seperti semula. Tak ada yang berbeda. Hanya saja, dia kini berani dengan leluasa mendekapku hingga tak kurasai dingin sedikit pun. Aku mencoba mengingat kembali. Seperti setengah mimpi, tapi rasanya begitu nyata. Kuraba badanku. Kutengok samping kananku, ada beberapa tumpukan kainku dan dirinya. Barulah aku mengerti. Aku menghela napas panjang. Kupikir aku akan bisa menahan diri dari satu hal yang paling aku hindari. Rupanya aku kalah hanya karena beberapa bait perkataan darinya. Apalagi, dia suamiku sendiri.
Antara memaklumi dan menyesali. Bahwa ini sudah menjadi bagian dari kehendak Tuhan yang harus kuterima dan kujalani selanjutnya. Tapi, aku juga mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di bulan selanjutnya. Apakah akan ada kabar yang biasanya dinantikan oleh sepasang pengantin baru pada umumnya? Aku menghela napas lagi.
Sepi. Aku sudah terjaga tanpa bisa melakukan apa-apa. Dia masih berposisi seperti sebelumnya. Tak bergerak sedikit pun. Aku mencoba bergerak pelan-pelan, lalu menatap wajahnya yang memang tampan. Tak terlalu putih bersih. Jika aku boleh menilai, sejujurnya aku menyukai semua yang ada di wajahnya. Termasuk bibirnya yang tertutup rapat seperti orang sedang tersenyum. Padahal, dia tidak sedang terjaga. Yang biasanya orang akan menunjukkan ekspresinya terjeleknya, tapi dia tidak. Kusentuh ujung hidungnya.
"Kenapa terjadi secepat ini? Apa aku terlalu menarik bagimu, Mas?" batinku.
Denyar-denyar itu kembali hadir. Segera kujauhkan jariku darinya.
Lalu, tak lama kemudian dia membuka mata. Jika biasanya dia menggeliat sembari berusaha mengerjap-ngerjap karena saking ngantuknya, pagi ini tidak. Tatapannya berpendar. Dia tampak amat segar bugar meski baru saja bangun tidur. Dia memberiku senyum hangat.
"Aku tidak akan pernah meragukanmu lagi," katanya.
"Maksudnya?"
Dia tersenyum lagi.
"Sekali lagi aku minta maaf. Kamu mau memaafkan aku?"
"Iya." Kutunjukkan ekspresi biasa saja meskipun sebetulnya aku ingin bertanya kenapa harus terjadi secepat itu.
"Mau mandi sekarang apa nanti?"
"Sudah jam setengah tiga."
"Jadi mau mandi sekarang?"
"Iya. Nggak terlalu dingin kok."
"Jelas dong. Lagi pelukan gini kok kedinginan." Tawanya mengudara.
"Jangan keras-keras, Mas, tertawanya."
"Mau aku gendong ke kamar mandinya? Takutnya kamu nggak bisa jalan."
"Kok manja. Masak gitu saja aku tidak bisa jalan," kataku dengan percaya diri.
"Kamu nggak merasa ada yang aneh?"
Aku tidak bisa jujur. Aku tahu semua rasanya sudah sangat berbeda. Aku malu jika dia tahu apa yang kurasakan saat ini.
"Aku biasa saja."