*POV Ibban Nizami
Setelah malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan memuliakannya sebagaimana aku memuliakan ibuku. Malam penuh kenikmatan itu mengingatkanku pada rasa syukur yang harus senantiasa kujaga setelah aku menikah dengannya. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Dia mau menyerahkan jiwa raganya meskipun keesokan harinya dia terlihat lebih cemas daripada sebelumnya. Aku tahu aku telah melanggar janjiku. Mungkin inilah yang abah maksudkan bahwa tak semudah yang kubayangkan menahan diri dari sesuatu yang sudah jelas halal bagiku. Tak ada rencana. Semuanya terjadi begitu saja saat keinginan itu begitu memuncak dalam hitungan menit. Untuk itulah kadang aku ragu saat ingin berdekatan dengannya.
Ada yang tidak bisa kujelaskan dengan pasti. Tapi, dia punya pemikat yang sangat kuat. Bening bola matanya menyimpan beribu bahasa kias yang hanya dapat diterjemahkan oleh pecintanya. Tatapannya sejauh mata memandang. Suaranya adalah penawar. Obat dari segala penyakit yang disebabkan oleh cinta. Dia adalah sekumpulan kata yang membentuk bait-bait puisi. Dia adalah rumah tempatku harus kembali. Tempat menyusun keping-keping angan yang dulu pernah terbengkalai. Dan, dia adalah surga. Tempat terindah bagiku untuk menuntaskan semua rindu dan cinta.
Hari ini, tepatnya ketika sudut barat langit telah bermuram durja, semua prosesi acara unduh mantu telah dirampungkan. Dimulai ba'da zuhur, sekitar pukul setengah dua. Sepanjang acara tadi, tidak ada yang tidak memujinya. Hampir semua orang yang datang mengatakan aku sangat beruntung mendapatkan kesempatan menjadi menantu kiaiku sendiri. Mendapatkan istri yang masih belia, cantik, dan berasal dari trah pesantren salaf. Berkali-kali aku ditanya, apa resep yang telah kuramu? Pertanyaan itu justru membuatku ingin tertawa. Dulu, aku hanya diizinkan Tuhan untuk menjatuhkan hati pada seorang gadis tujuh belas tahun dan aku tidak tahu siapa dia sebenarnya.
Usai salat magrib di awal waktu.
"Ibuk seneng lihat kalian berdua mesra begini."
Padahal, aku dan Fizah hanya sedang duduk berdua di depan rumah. Barangkali jika ada tetangga yang datang.
Ibuk berbisik, "Zam, gimana sudah?"
Aku menolehnya. "Apanya, Buk?"
Ibuk menepuk pahaku. "Lha ya masak kamu tidak paham maksudnya Ibuk."
Tidak keluarga ndalem dan ibuk, mereka itu sama saja. Mencandai manten baru yang lagi senang-senangnya. "Pengestune, Buk." Aku balas berbisik.
"Moga-moga cepat hasil maksud, Zam," kata ibuk cukup keras.
Aku segera memberi isyarat agar tidak membicarakan itu sekarang. Kugerakkan alisku, tapi ibuk tak cepat mengerti. Ibuk menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Aku menggeleng. Aku khawatir Fizah mendengarnya, lalu dia kembali bersedih seperti kemarin.
"Mas? Ada tetangga ke sini tuh!" Dia bangkit. Buru-buru melebarkan senyum untuk mereka.
Aku dan ibuk mengikutinya.
"Terima kasih kedatangannya. Monggo silakan duduk! Silakan!" kata ibuk.
"Mareme ya, Mas Nizam, dapat istri masih belia begini. Jarang-jarang anak jaman sekarang nikah usia muda. Apalagi, kalau penampakannya sebening ini. Ya Allah, mujur tenan sampeyan (beruntung sekali kamu), Mas Nizam. Aku dulu nikah sama bojoku malah masih enam belas tahun. Setelah itu langsung punya anak lo, Mas," ucapnya sembari duduk.
"Haduh," batinku.
Ibu di belakangnya cepat menyambung. Merasa topik ini asyik diperbincangkan. "Mas Nizam?"