*POV Tsaniya Tabriz
Setelah merenungi perkataan tiga tamu yang menyinggung rumah tangga tadi, aku pun kepikiran kehidupanku selanjutnya. Terutama sebulan lagi. Berapa banyak orang yang akan bahagia dan orang yang justru akan menyayangkan keadaannya? Jika Mas Nizam ternyata melanggar janjinya, apakah sebetulnya dia juga menginginkan segera berputra? Alquran yang kupegang belum juga kubuka.
Sejurus kudengar Mas Nizam memanggil. Denyar-denyar itu kembali muncul ketika dia memanggilku. Atau, saat dia mendekatiku seperti ini. Aku tak bisa mengatakan kalau sebenarnya aku memang sedang merenungkan perkataan Bu Katmi, Bu Marni, Bu Situn. Degup jantungku pasti akan mengencang dengan sendirinya. Bulu kudukku berdiri. Perasaan semacam ini kerap kali terjadi setelah malam kedua itu. Di malam keenam ini, entah apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba dia berdiri di tengah pintu tanpa mengucap salam. Nyut! Jantungku melompat. Aku refleks mengucap istigfar lirih. Segini takutnya saat aku berada satu kamar dengan suamiku sendiri. Apa yang ada di pikiranku? Aku menggeser posisi duduk sampai ke pojokan kasur. Kebetulan kasurnya tidak beranjang. Ini pun juga hanya kasur kapuk yang tidak terlalu tebal. Dia melirikku sembari tersenyum. Lalu, duduk bersila di depanku.
"Mas?"
Dia meraih Alquranku sebelum aku memberikannya.
"Iya, Tuan Putri?"
"Aku boleh nanya?"
"Sebentar. Kenapa kamu jadi takut denganku? Kelihatannya kamu nggak nyaman gitu. Hmm?"
"Mas, aku cuman mau nanya."
"Oke oke. Nopo, Ning?"
"Apa Mas Nizam sebetulnya ingin segera punya anak?"
"Oh, itu...emmm..." Dia tersenyum.
Dia meletakkan Alquranku di bantal di sampingnya. Dia meraih kedua tanganku. Nyut! Getarannya merambat hebat. Aku menunduk segera. Aku tidak berani menatapnya.
"Nggak apa-apa, kan, aku pegang begini. Nanti aku wudu lagi aja. Coba lihat aku!" Dia menyentuh daguku. Mendongakkanku pelan-pelan.
"Ning, aku minta maaf. Tapi, kalau aku boleh jujur, aku selalu terpesona. Apa yang pernah aku katakan dulu untuk merendahkanmu, semuanya menyadarkan aku. Kenyataannya tidak seperti itu."
"Lalu? Yang tadi, Mas?"
"Ya itu alasannya. Karena kamu cantik." Dia tersenyum kikuk. Melepaskan tanganku.
"Jadi, bukan karena Mas Nizam pengen cepat punya momongan?"