*POV Tsaniya Tabriz
Seperti yang dikatakan ibuk mertua tadi, aku dan Mas Nizam akhirnya keluar sebentar sekadar untuk menyapa pagi. Kami berkeliling desa. Awalnya Mas Nizam meminta izin untuk memegang tanganku, tapi aku menolak. Malu diperhatikan warga, sedangkan aku masih warga asing di sini. Ya meskipun kami pengantin baru.
Dan, kebetulan kami melewati jalan paving yang menuju ke utara. Aku ingin mengajak ke sana, tapi Mas Nizam melarangku. Aku ingat, dulu dia pernah mengatakan ada larangan bagi seluruh perempuan di desa ini untuk pergi ke arah utara. Harus mencari akses yang lain. Di situlah kemudian aku ingat, pertama kalinya kami dipertemukan. Dia seperti sosok penyelamat.
"Ingat tempat itu?" tanyanya. Dia menunjuk.
"Ya." Aku memperhatikan suasana di depanku sejenak. Aku menolehnya kemudian. "Mas Nizam yang menolongku dari tempat maksiat itu. Dari kolong sampah," lanjutku.
"Jika dengan mengingat itu kamu ingat lagi, mending kita ngomongin yang lain. Aku mau cerita kapan aku kenal Ummik pertama kali."
"Pas Mas Nizam mondok kilatan, kan?"
"Enggak, Ning."
Mas Nizam mengajakku putar balik. Kami pergi ke selatan. Bertemu dengan pedagang sayur keliling yang baru selesai bertransaksi dengan salah satu wanita berdaster tanpa lengan. Pedagang itu juga memilih satu arah dengan kami. Sempat menyapa kami dengan senyum, lalu bertegur sapa, "Istrinya Pak Dosen apa pacar?"
Langkah kami terhenti.
"Kelihatan istri apa pacar, Yu, kalau begini?" Mas Nizam meletakkan tangan kanannya ke pinggangku.
"Ya kalau yang begini jelas istri, Pak. Kapan to Mas acaranya kok aku nggak dengar apa-apa dari orang-orang?"
"Baru dua hari yang lalu. Acaranya siang, Yu. Nggak ramai."
"Ow ya ya."
Kami meminta permisi.
"Dulu Mas ngajar tilawah di Singolatren. Di Darul Falah. Tempat nyantrinya Ning Ala yang nyanyi kemarin. Dulu Mas nggak ngerti kalau dia ning. Mas cuman ngerti dia qoriah. Orang tuanya jadi donatur pondok."
"Ini ngomongin Ning Ala atau Ummik?"
"Ini ada terusannya. Jangan cemburu gitu dong."
"Mboten cemburu, Mas. Lha tadi katanya bahas pertemuanmu sama Ummik."
"Iya. Gini lo, Ning. Aku tahunya justru dari Ummik Nur Fatimah. Waktu itu pas Ummik telfonan sama rencange (temannya). Temen Ummik Nur ya Ummik Ridhaa itu. Kebetulan mereka lagi membicarakan calon suami untuk kamu. Ummik masih galau-galaunya mikirin kamu. Sampai Ummik kepikiran mencarikan jodoh buat kamu. Padahal, Ummik sendiri tahu kalau kamu masih tidak jelas ada di mana. Aku juga belum kenal kamu, Ning."
"Ohh, gitu." Aku berpura-pura tidak terkejut. Tapi, aku mengakui bahwa takdirku berjodoh dengannya memang cukup menarik.
Beberapa orang menyapa kami. Aku mengangguk sebelum bertanya. Tapi, Mas Nizam masih berbicara dengan wanita tua entah siapa. Kutunggu di tempat duduk dari bambu yang ada di belakangku. Sambil ungkang-ungkang (mengayun-ayunkan) kaki, aku menyisiri pemandangan di sekitarku. Jika aku hidup di sini, sepertinya aku tidak nyaman. Karena masa lalu yang sudah kukubur ada di tempat ini. Aku menoleh ke selatan. Ada yang tersenyum padaku. Siapa dia? Perempuan cantik dengan tubuh molek. Gemulai jalannya.
"Kamu istrinya Mas Nizam kan?"
"I-ya. Kamu sendiri siapa?" Aku masih menebak-nebak.
Dia menyodorkan tangannya. "Kenalkan aku Tika. Ada yang panggil Wardah juga."
Aku menjabatnya. "Wardah Mustika Rahayu?"
Dia tersenyum lebar. "Iya bener banget. Mas Nizam pasti sudah cerita banyak soal aku."