*POV Tsaniya Tabriz
Ibuk memintaku untuk tidak langsung memberitahunya. Biarkan saja Mas Nizam menyadari hari ulang tahunnya yang ke dua puluh sembilan. Ibuk melarang Mas Nizam yang sudah kadung mengambil piring sendok, siap mencicipi. Dia pun kebingungan karena tak biasanya ibuk melarangnya makan. Biasanya dia sering diminta untuk mencicipi begitu masakan ibuk mertua siap dihidangkan. Mas Nizam memaksa. Ibuk mertua bersikukuh tidak boleh diicip siapa pun sebelum semuanya siap.
"Ada apa to, Buk?"
"Nggak ada apa-apa, Zam. Sudah kalian ke depan saja sana."
"Buk, aku mau nyapu-nyapu."
"Kamar ibuk tidak usah, Nduk." Ibuk sibuk dengan telur yang ada di penggorengan satunya.
"Nggeh, Buk."
"Aku bantu biar cepet masaknya. Kula pun laper (aku sudah lapar)."
"Tidak usah ya tidak usah, Le. Kok meksoan."
Kudengar dari sini, mereka masih saking memaksa. Pada akhirnya Mas Nizam mengalah dengan mengatakan tidak akan mengganggu ibuk. Ibuk menyuruhnya mandi.
"Ning?" Dia berjalan ke arahku. Dia berbisik, "Belum mandi, kan? Sini aku mandiin."
Nyut! Aku berpura-pura tidak mendengarkan. Kuteruskan menyapuku. Dia menyusul langkahku.
"Ayok!"
Kubaikan dia lagi. Padahal, ibuk berjaga di dapur. Bisa-bisanya dia memintaku seperti itu. Dia merajuk. Mengalunkan suara merengek yang gemulai. Karena merasa terus Kubaikan dia pun berkata sedikit lebih keras, "Yok, mandi, Tuan Putri."
Aku menoleh cepat. Kubungkam mulutnya. Dia justru terbahak-bahak. Sempat kuperhatikan dapur, di sana ibuk melongokkan kepalanya. Kulihat ibuk sedang senyum-senyum.
"Mas, Ya Allah njenengan kok aneh-aneh begini kenapa?" Kuperlihatkan wajah kesalku.
Sepintas teringat perkataan Mustika. Dia berani mengatakan terang-terangan padaku kesungguhan cintanya pada Mas Nizam dulu. Bahkan, jika aku melihat dari caranya berbicara pun aku merasa dia masih menyukai Mas Nizam meski sudah tak mungkin mengharapkan.
"Aku mau, Mas, kalau seandainya kita di kamarku. Aku malu sama Ibuk, Mas."
Aku sadar, sebagai istri aku masih sering menolak permintaannya. Apalagi, aku masih merasa sering diliputi kecanggungan. Aku belum bisa seperti ummik yang selalu taat pada abah. Seringkali menyeruak dalam dadaku, apa yang tidak kuinginkan harus kuungkapkan. Kepada Mas Nizam, aku merasa ingin selaku dimengerti. Termasuk dalam kecanggunganku yang seperti ini.
"Iya aku paham. Mas paham. Jangan terlalu serius begitu, Ning. Pagi-pagi kok uratnya sudah kaku." Lagi-lagi dia meledekku. Dia pun menyucup pipiku sebelum melenggang mengambil handuk bersih di lemari.
Pukul sembilan lebih lima menit. Kudengar gedebum knalpot. Kupikir siapa yang memarkir motor yang knalpotnya dimodifikasi begitu. Setelah kuperiksa, rupanya kawan Mas Nizam yang bernama Pak Iman itu. Terlintas pertanyaan, benarkah dia mau menikahi Ratna?
Kujawab salamnya. Aku mempersilakannya duduk. Kukatakan kalau Mas Nizam masih zikir salat duha. Dia berkata akan menunggu. Setelah kutawari minum, dia memilih kopi dengan gula aren. Sekaligus diminta menambahkan sedikit garam. Aku meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Saat berpapasan dengan ibuk, ibuk kegirangan mengetahui Pak Iman sudah datang.
"Siapa yang datang?"
"Pak Iman, Mas."
"Tumben dia?"