*POV Tsaniya Tabriz
Aku menunggunya sampai bangun keesokan harinya. Tiba-tiba mataku terjaga tepat saat denting jam menunjukkan pukul dua. Dan, tepat di saat aku membuka mata, aku berhadap-hadapan dengannya yang sudah tidur pulas.
"Tidur jam berapa kamu, Mas?" batinku.
Lalu, kulihat pergelangan tanganku. "Dia memberiku gelang?" pikirku. Kuperhatikan gelang simpel dan cantik berliontin huruf T love N itu. Saat aku semakin merasa bersalah atas permintaanku yang dulu, sikapnya justru bertambah manis. Dia memperlihatkan kedewasaannya sebagai pemimpin, pengayom, suami yang menjadi teladanku. Aku merasa telah melukainya dalam diamku. Dalam doa yang kupanjatkan setiap malam tahajudku. Jika ternyata doaku lebih dulu melesat jauh menggetarkan arsy, maka kemungkinannya doakulah yang akan diijabah terlebih dahulu. Tapi, sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa yang dia doakan tiap malam. Doanya tak pernah sebentar. Wiridnya selalu panjang, setidaknya lebih lama dariku. Sujudnya pun dua kali lamban.
Sejauh yang aku rasakan sampai saat ini, dia tidak pernah memintaku melakukan banyak hal kecuali, rajin mengaji, mengerjakan tugas kuliah, dan menyuruhku merias diri saat dia menghendaki. Aku baru sadar segalanya tatkala perasaan bersalah itu kian menjadi-jadi. Diamnya seolah-olah meminta, senyumannya seperti menyembulkan luka, sedangkan tatapannya kadang merajuk dan mengiba. Hanya saja sebagai seorang lelaki dia tidak pernah menunjukkan itu. Apalagi, bercerita soal perasaannya. Tapi, mungkin dia paham apa yang aku inginkan meskipun tak sampai mengerti apa yang sebetulnya aku resahkan. Pipiku menghangat.
Mas Nizam menggeliat. Mengubah posisinya menjadi telentang. Aku berbalik membelakanginya. Kuisap isakku lirih. Kuseka dengan ujung jari-jariku.
Ahad pagi ini Mas Nizam mengajakku makan di pinggir jalan. Katanya, supaya mendapatkan sensasi yang berbeda. Tidak di dapur ndalem dengan kepulan asap bumbu-bumbu digoreng, yang membuatnya harus bersin sampai lima kali. Atau, ricuhnya beberapa santri putra yang antre di depan pintu dapur, hanya demi mendapatkan menu spesial buatan mbak ndalem baru, pengganti Mbak Ufi yang namanya Mbak Fatih. Mas Nizam memintaku duduk di trotoar yang sudah diberi alas terpal. Dia memesankan gado-gado dan es cendol dawet empat ribuan.
Letakkan tidak jauh dari pesantren. Sekitar dua kiloan saja. Melewati pasar tradisional rujukan warga desa. Kami berangkat hanya dengan sepeda kuno milik abah yang kebetulan masih bisa digunakan setelah diservice Kang Bimo tiga minggu lalu. Niatnya ingin dijual abang, tapi abah melarang karena kata abah sepeda usang itu memiliki banyak sejarah percintaannya dengan ummik. Karenanyalah, tiba-tiba saja setelah acara ngaos kitab dengan santri putra selesai, dia langsung memintaku berdandan. Dia bersiap lebih dulu, mengeluarkan sepeda abah dari gudang belakang dan memompanya sendiri. Dan, di hadapan santri-santri yang tengah bergumul menikmati menu sarapannya, dia memintaku langsung naik sebelum dia mengayuh.
"Masih nunggu. Laper banget nggak?"
"Mboten, Mas. Tidak keroncongan kok. Makasih, ya, Mas."
"Sama-sama. Cantik...bajumu yang ini. Baru sarungnya? Kok Mas nggak pernah tahu kamu pakai itu?"
"Sarung dari Mbak Ufi, Mas. Dia ngasihnya sebelum boyongan."
Mas Nizam tersenyum. Memperhatikan pergelangan tanganku. Tadinya aku ingin melepaskan beberapa perhiasanku, tapi Mas Nizam melarangnya tanpa alasan. Dia malah berpesan jangan pernah melepaskan perhiasan yang telah diberikannya, apa pun itu alasannya.
Aku menata kalimat. Kuedarkan pandangan agar tak terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"Mas, di sini seger, ya?" Justru itu yang keluar.
"Iya. Habis dari toko bu, Mas nyoba jalur pasar ini. Kalau sore yang mangkal di sini bukan gado-gado, tapi sate kelinci. Kesukaanmu. Mas pikir sepertinya enak kalau pagi-pagi bisa jalan bareng sama kamu. Kok kita nggak pernah kepikiran jalan-jalan bareng sepedahan gini, ya, Ning?"
"Aku juga nggak tahu kok, Mas, kalau Abah punya sepeda lawas yang udah rusak. Kalau sepedahan, sih, udah jadi kebiasaanku dulu."
Mas Nizam menoleh. "Suwun, Mbok."
Dia meletakkan gado-gadonya di depanku. Kuubah posisi dudukku menjadi bersila. Melihat Mas Nizam lahap menyantap, aku menahan kalimatku. Dia tak mengajakku bicara sampai piringnya bersih.
"Habis nggak?"
"Habis, Mas." Aku berpura-pura memperlihatkan selera makan yang baik. Kuhabiskan walau sebetulnya aku tak terlalu berselera.
Aku bangkit membawa dua piring kotor ke penjualnya. Lantas kembali duduk menyantap se cendol dawet.
"Mas, aku mau bicara sebentar boleh?"
"Bolehlah. Ngomong aja, Ning."
Kuucap basmalah dalam hati.
"Kemarin aku periksa ke dokter..."