*POV Tsaniya Tabriz
Akhir semester empat. Masa-masa melelahkanku. Tugas menumpuk hingga mengurangi jatah murajaahku. Meskipun jumlah makul semakin sedikit dan SKS pun sudah berkurang, tapi tugas mandiri beberapa makulnya mengharuskanku melakukan penelitian. Aku menjadi lebih sering berada di luar pesantren bersama Kang Bimo. Aku juga mulai jarang merepotkan Mas Nizam. Aku sudah benar-benar mandiri sejak semester tiga.
Mas Nizam sendiri juga disibukkan dengan tugasnya merekrut pengajar di pesantren. Seperti yang pernah aku katakan sebelum aku menikah dulu, pesantren ini harus menjadi pesantren salaf yang tidak kalah maju. Punya daya saing yang cukup baik dan punya identitas di mata masyarakat. Baik Mas Nizam dan abang, mereka berdua berjuang untuk mulai membesarkan nama pesantren atas masukan-masukan yang telah diberikan oleh para sesepuh.
Pengajar yang sudah mendaftarkan diri dan mengirim identitas, diminta datang ke pesantren menemui abang dan Mas Nizam demi keperluan tes kependidikan, akhlak, membaca Alquran, dan membaca kitab kuning. Pendaftarnya tentu mereka yang sebetulnya sudah mumpuni, sebagiannya dari almuni mulai dari tahun 80-an. Tes kitab nantinya akan sepenuhnya diserahkan kepada abah, sedangkan tes kependidikan, akhlak, dan membaca Alquran kepada abang dan Mas Nizam. Sementara untuk pendaftar dari kalangan perempuan, aku memegang tes bagian kependidikan, tes akhlak dan membaca Alquran kepada ummik, dan tes kitab kepada Kak Ulya. Pendaftarnya sekitar 50 orang, 30 pihak putra dan 20 pihak putri. Rata-rata usia masih dua puluh lima. Hanya ada beberapa yang sudah sepuh yang lulus tanpa seleksi. Mereka yang dianggap sudah mumpuni dan berpengalaman. Atas kesibukan semua keluarga ndalem, aku dan Mas Nizam tak lagi memikirkan kapan kami akan diberikan momongan. Kesibukan itulah yang mengalihkan perhatian kami saat kami menyedihkan hal yang seharusnya sudah terjadi.
Tes dilakukan selama dua hari. Pengumuman selanjutnya masih menyusul, terkait tanggal pelaksanaan pembelajaran di madrasah diniyah. Karena gedung madrasah bertingkat dua, yang ada di seberang pintu gerbang, masih akan dimulai pembangunannya seminggu lagi. Melibatkan warga desa yang biasa menjadi kuli. Gedung tingkat dua itu, nantinya juga akan digunakan sebagai tempat pembelajaran quran. Pengajarnya dari santri sendiri yang sudah mumpuni membaca kitab dasar dan membaca Alquran dengan fasih, baik mereka santri putra ataupun putri. Dua tahun terakhir, santri-santri yang terlihat berprestasi lebih diperhatikan dan dididik secara khusus tanpa sepengetahuan mereka.
Selama 40 hari setelah tes itu selesai, aku diizinkan Mas Nizam tabarukan, target khatam murajaah 40 kali. Maka selama 40 hari itulah aku harus banyak berpuasa, termasuk puasa bergaul dengan suami. Bukannya tidak diperbolehkan. Hanya saja Mas Nizam sendiri yang sengaja tidak ingin menggangguku fokusku. Seandainya Mas Nizam tidak mengizinkanku waktu itu, maka aku juga tidak akan berangkat.
* Ibban Nizami
"Gimana rasanya tabarukan?"
"Serba ngempet, Mas."
"Ngempet apa?"
Dia merenges. Mendadak malu. Mendekatkan posisi duduknya, lalu menyadarkan kepalanya di pundak kananku. Tangan kanannya melingkar sampai ke pinggang kiriku. Aku hanya mendengar deru napasnya yang semakin keras. Juga suhu tubuhnya yang mulai terasa naik. Kusentuh keningnya. Kukira dia sedang demam, lelah karena tabarukan dan syukuran. Tapi, ternyata dia mengatakan sedang baik-baik saja.
"Mas, sebetulnya aku..."
"Sebetulnya?"
Kami saling menatap.
"Kenapa kamu, Ning?"
Dia memperlihatkan wajahnya dengan sangat manja. Matanya membulat sempurna. Berkali-kali melebarkan senyum. Lalu kembali memelukku.