Tiga minggu sebelumnya
Petra tampak keluar dari ruang guru dengan raut wajah jengkel. Sekali lagi dia disuruh mengorganisir kelasnya sebagai ketua dan dia sudah bosan dua kali ditunjuk sebagai ketua kelas. Untuk kelas 2 ini setidaknya dia ingin bersantai. Dia mulai menyalahkan teman-teman sekelasnya yang memilihnya. Dia berpendapat bahwa tidak ada yang lebih menyebalkan daripada mengurus sekawanan anak-anak SMA yang berisiknya melebihi kebun binatang dan susah diurus. Kalau boleh membandingkan sih, dia merasa seperti sedang mengurus sekumpulan penghuni rumah sakit jiwa saking bikin stresnya.
“Jangan lupa pas bel istirahat selesai harus sudah masuk semua ke kelas dan duduk rapi. Saya nggak mau lihat ada murid masih di luar,” kata Bu Ningrum, wali kelasnya dengan tegas. Beliau sudah tua, 58 tahun, hampir pensiun. Sangat galak dan keras serta disiplinnnya sangat tinggi, murid-muridnya sampai menjulukinya Nenek Iblis. Bahkan yang tidak pernah diajar olehnya langsung keder kalau ditatap langsung. Mau tak mau Petra berharap Bu Ningrum sudah akan pensiun sebelum dia lulus.
“Baik Bu,” balas Petra segera sambil agak menunduk. Dia selalu berusaha menghindari tatapan tajam Bu Ningrum yang memancar dari balik kaca mata tebalnya saking seramnya. Dia menahan sebal dalam hatinya. Tapi begitu keluar dari ruang guru dia langsung mengeluarkan kekesalannya.
“Sial, harus ngurusin babon sama macan Afrika lagi,” gerutunya kepada dirinya sendiri. Dia berjalan sambil terus memaki. Dia sudah malas sekali bahkan sebelum mulai bertugas. Posisi ketua kelas juga tidak enak karena sering dimanfaatkan teman-temannya yang usil. Dia bosan disuruh berbohong kalau ada ulangan atau dijadikan tameng kalau kelasnya dimarahi guru.
Saat sedang asyik menyumpah-nyumpah itulah dia melihat sebuah pengumuman yang lumayan besar ditempel di papan dekat ruang guru. Saat membacanya suasana hatinya langsung berubah drastis.
“Yes! Emang nggak ada hari yang bakalan sial mulu,” serunya tiba-tiba. Setelah itu dia langsung melesat menuju kelasnya.
“Hei Guys ada berita bagus!” Dia berseru dengan keras sambil langsung duduk di depan Zevania dan Windy.
“Berita apaan?” tanya Zevania sambil asyik ngemil kacang goreng.
“Hari kejayaan kita akhirnya dateng!” seru Petra, berusaha mendramatisir keadaan. Windy langsung mengernyit.
“Apaan sih lebay,” katanya.
Petra memukul pelan meja, membuat kedua cewek di depannya terlonjak kaget.
“Jadi gini! Mau ada lomba film pendek! Ada kategori SMP, SMA sama umum! Kita harus ikut!” serunya bersemangat.
“Hah film?” Mendengar kata itu Zevania langsung fokus. Petra mengangguk dan tersenyum lebar banget.
“Iya! Nah Zev, kamu kan pengin banget main di sebuah film sejak gabung bareng klub film? Akhirnya kesempatan ini dateng!”
“Plus hadiahnya oke banget!” seru Petra tambah semangat. Dia lalu menjelaskan rincian hadiahnya yang terdiri dari uang tunai berjumlah lumayan besar, piala dan sertifikat. Windy langsung melongo, kelihatan ngiler.
Bujukan Petra langsung mempan. Ekspresi Zevania mendadak dua kali lebih cerah. Dia langsung berdiri dan ikutan memukul meja dengan antusias.
“Oke yuk kita ikutan Pet!”
Windy langsung terlonjak kaget lagi mendengar suara gebrakan meja dan seruan tiba-tiba Zevania.
“Kayaknya emang bakalan asyik ya. Tapi rumit nggak sih Pet? Kita kan belum pernah bikin film pendek sebelumnya,” katanya tampak ragu.
“Nggak terlalu ah Win,” kata Petra segera dengan santai sambil mengibaskan tangan.
“Beneran lho, bikin film pendek tuh kayaknya rumit.” Windy mengernyit melihat betapa entengnya Petra saat ngomong.
Zevania memandangnya, matanya membara.
“Udah Win, pasti bisa! Kita harus ikut pokoknya! Ini kesempatan lho!” serunya lagi.