Setelah itu Kiran diberi waktu tiga hari untuk membuat naskah, namun dia menyelesaikannya sehari lebih cepat saking bersemangatnya. Sebelum naskah itu dimainkan, Petra masih harus meminta persetujuan Bu Ningrum sebagai wali kelasnya. Bu Ningrum agak kaget ketika mendengar niatnya mengikuti lomba film pendek dengan mengangkat cerita horor sekolah, beliau lalu meminta ditunjukkan naskahnya. Setelah membaca, beliau tampak mengangguk setuju dan membubuhkan tanda tangannya. Petra merasa lega, tadinya dia cemas naskahnya akan ditolak karena mengangkat urban legend sekolah.
“Udah dapet tanda tangannya!” seru Petra gembira sambil menemui teman-temannya di ruang ekstrakurikuler. Semua orang langsung bersorak.
“Kirain Nenek Iblis bakalan nolak karena kita angkat cerita horor sekolah,” tambahnya dengan lega, teringat betapa was-wasnya dia tadi. Mendengar kata-katanya teman-temannya tertawa.
“Jadi kita bisa langsung mulai syuting yeay!” seru Zevania lalu tersenyum lebar. Dia ketularan keantusiasan Petra.
“Yoi!” Petra membalas, wajahnya sangat semringah.
“Buset tanda tangannya rumit banget ya? Panjang lagi,” kata Wendra segera, mengintip naskah yang sudah disetujui. Petra langsung tertawa.
“Namanya Bu Ningrum kan emang panjang? Ningrum P. Darsono,” katanya. Dia lalu menemui Kiran untuk berdiskusi langkah selanjutnya.
Setelah itu Kiran memberinya daftar para pemain yang diperlukan. Petra segera mengadakan audisi. Juna langsung lolos menjadi pemeran cowok yang melakukan komunikasi dengan arwah si Gadis Merah. Aktingnya saat ketakutan, dengan pandangan kosong dan kaget benar-benar meyakinkan sampai semua kru terkesima. Mega dan cewek kelas 1 satunya menjadi cewek yang menjerit ketakutan serta memberitahu bahwa si Gadis Merah tidak bunuh diri. Zevania gagal mendapatkan peran itu karena akting menjeritnya tidak meyakinkan. Petra lalu memutuskan untuk mengadakan audisi terbuka untuk peran hantu si Gadis Merah dan anak perempuan yang nyaris bunuh diri di dalam kamar mandi. Dia menempel pengumumannya di mading sekolah.
Apesnya tidak ada anak yang mengajukan diri untuk peran si Gadis Merah sementara peran kedua sebagai anak yang nyaris bunuh diri malah diminati banyak orang, padahal si hantu adalah peran utama. Zevania berniat mendapatkan peran kedua tapi dia kalah cepat. Peran itu didapatkan oleh anak kelas 2 sebelah.
“Tinggal peran si cewek hantu Zev. Harus mau. Nggak ada yang mau lagi soalnya,” kata Petra akhirnya. Dia menatap Zev sambil memegang naskah, siap menambahkan namanya sebagai pemeran hantu.
“Sial,” rutuk Zevania. Dia langsung mati kutu.
“Ya udah deh iya,” katanya akhirnya dengan jengkel. Daripada tidak dapat peran sama sekali dan tidak jadi ikut main film, dia akhirnya terpaksa menerimanya. Tapi setelah itu anak-anak lain jadi menjaga berjarak dengannya, semuanya terlihat ngeri. Entah darimana mulainya, beredar gosip santer yang mengatakan bahwa siapa pun yang memerankan si cewek hantu bakalan tertimpa sial atau kena kutuk.
Petra langsung tersenyum.
“Sip. Bagus.” Dia lalu menuliskan nama Zevania di naskah. Melihat hal itu Zevania jadi mati kutu lagi.
“Sialan,” rutuknya sekali lagi.
“Siapa sih yang sebarin gosip nggak bener itu!” protesnya pada Windy. Windy langsung meringis, tak menjawab.
Tapi ternyata peran hantu itu cocok untuk Zevania. Dia cantik, sementara menurut gosip, si cewek hantu dulunya cantik. Selain itu akting jadi hantu tidak terlalu sulit. Zevania terkenal agak galak dan keras, jadi dia tinggal menambah porsi tatapan mautnya yang biasa. Apalagi dia tak punya dialog sama sekali karena memang sepanjang yang diketahui anak-anak di sekolah, dalam ceritanya si cewek hantu memang tak pernah berbicara. Begitu juga saat adegan cowok yang berkomunikasi dengannya, si cewek hantu hanya membuka mulut dan mengucapkan kata-kata tanpa suara, karena menurut gosip hanya si cowok yang bisa menangkap suaranya. Sangat gampang. Semua anak lalu diberi waktu tiga hari untuk menghafal dialog.
Latihan pertama dimulai minggu itu juga. Mereka melatih dialog tanpa berakting dulu setelah itu baru mulai memerankan adegannya langsung dan mulai proses merekam. Semuanya sepakat adegan selanjutnya akan dilakukan hampir setiap pulang sekolah demi mengejar target tenggang waktu pengajuan karya, kecuali saat ada anak yang harus ikut ekstrakurikuler lainnya atau ada yang berhalangan hadir. Hal itu juga dilakukan agar tim editing bisa melakukan tugas bagian mereka dengan maksimal.
Seminggu kemudian mereka sudah selesai merekam hampir setengah dari total keseluruhan adegan. Petra tampak puas. Dia jarang sekali protes dan marah-marah. Semuanya berjalan sangat lancar. Anak-anak sangat bersemangat sehingga mereka berusaha sebaik mungkin saat pembuatan film.
Mereka memang tampak lelah karena harus mengulang satu atau dua adegan berulang kali. Tenggorokan Mega sampai nyaris lecet karena dia harus menjerit berulang kali dan Juna bosan harus selalu siap memasang tampang kosong mirip orang kena gendam sepanjang proses pengambilan gambar. Tapi Petra selalu memiliki senjata ampuh untuk mengembalikan semangat mereka.