Gadis Merah

Andam Aulia
Chapter #5

Sebuah Petunjuk

Karena tidak ada yang sudi mencari fakta selanjutnya soal cerita si Gadis Merah, maka mereka tetap menggunakan naskah awal, meskipun Kiran berkata dia akan membuat sedikit perombakan di naskah, tapi bukan perubahan besar sehingga mereka tidak tambah repot waktu syuting. 

Syuting selanjutnya berjalan sampai sore, mereka akan merekam adegan-adegan akhir. Juna sampai terkantuk-kantuk menunggu gilirannya karena di dua adegan terakhir dia muncul walaupun cuma sebentar. Zevania juga muncul walaupun hanya sebentar. Kiran tidak datang, dia harus menjaga salon.

Petra tampak serius. semua orang tidak ada yang berbicara banyak, tidak ada waktu untuk mengobrol. Adegan-adegan terakhir merupakan adegan vital. Petra mau semuanya sempurna. Keringat Wendra bercucuran di mana-mana, dia tampak agak stres. Beberapa kali kamera yang dipegangnya sampai goyang. Zevania mulai merasa jengkel, kostum hantunya yang berupa seragam lama dan blazer makin lama makin terasa panas dan sesak karena penuh keringat. Belum lagi cuaca siang itu benar-benar panas. Windy sendiri juga kelihatan capek karena dia harus memperhatikan makeup para pemain lain dan harus selalu siap untuk memperbaiki makeup yang rusak atau semacamnya.

Menjelang pukul 4 sore akhirnya Petra mengangguk puas. Tinggal satu adegan lagi dan itu adalah adegan di akhir film. Dia merencanakan melakukan pengambilan gambar keesokan harinya, langsung setelah sekolah selesai.

“Dua hari lagi aja Pet, besok ada ujian Fisika!” keluh Juna segera. Dia belum belajar sama sekali dan waswas kalau-kalau dia malah ketiduran malam nanti bahkan sebelum sempat membuka bukunya.

“Iya Pet, capek banget!” keluh Zevania, dia menaruh kepalanya di meja, tampak kepayahan. Rambutnya basah oleh keringat. Dia sudah melepaskan blazernya yang sekarang berbau lembab dan menyampirkannya di belakang kursi.

Petra mendesah sambil memandang teman-temannya dengan pandangan tak sabar. Dia sendiri juga capek, tapi dia lebih suka semuanya cepat selesai. Jadi mereka bisa bersantai lebih cepat. Tapi kalau dia memaksakan kemauannya, kasihan yang lain juga. Dia tidak mau bertengkar dengan timnya di saat-saat vital seperti ini.

“Ya udah deh kalo gitu oke. Kalian istirahat dulu aja, kita tunda dulu syutingnya. Lagian sambil nunggu naskah dari Kiran,” katanya akhirnya. Dia lalu meletakkan naskah di atas meja dan segera duduk di kursi. Disekanya keringat yang membanjiri dahinya.

“Yes!” sorak Wendra, dia lalu meregangkan badannya lalu merebahkan diri ke kursi.

Mereka lalu beristirahat sebentar sambil duduk-duduk dan minum. Waktu hampir menunjukkan pukul 5 ketika mereka akhirnya ngulet di kursi masing-masing lalu berdiri. Tapi setelah itu tiba-tiba muncul suara keras.

“Kalian belum pulang jam segini?”

Anak-anak langsung celingukan melihat siapa yang barusan bicara. Seorang laki-laki tua berdiri tak jauh dari mereka. Usianya tampaknya mendekati 60 tahun. Wajahnya tirus dan bercambang. Dia tidak begitu tinggi, tapi postur tubuhnya tampak mengancam.

“Eh Pak Mus,” kata Petra segera, langsung gugup.

Pak Mustofa, penjaga sekolah mereka memandang tajam. Anak-anak langsung merasa keder. Wajah tuanya tampak  dua kali lebih seram saat dilatarbelakangi cahaya sore.

“Ini sudah sore, sekolah sebentar lagi ditutup. Cepat pulang!” serunya galak. Anak-anak langsung melonjak kaget.

Lihat selengkapnya