“Emangnya ada ya?” Dahi Wendra berkerut.
“Kayaknya nggak pernah lihat deh,” tambahnya. Padahal dia sendiri hampir tidak pernah masuk ke perpus, jadi dia cuma asal ngomong.
“Coba aja kita cek dulu. Kalau misal ada artikel yang berkaitan sama sekolah kita, harusnya sih disimpen, buat arsip sama dokumen sekolah gitu,” jawab Kiran.
“Masa iya? Di sekolah kita ada yang begituan?” tanya Wendra. Kiran tertawa kecil lalu mengangguk.
“Ya iyalah Wen, setiap sekolah kan punya arsip sendiri-sendiri. Pernah lihat koran tahun 1980-an kan di perpus? Pernah lho ditunjukin sama Pak Rudy. Waktu itu sekolah kita masuk koran gara-gara pernah kebobolan maling. Padahal cuma kebobolan maling lho, bukan artikel soal sekolah yang dapet penghargaan atau semacemnya gitu,” jawabnya.
“Oh iya inget!” seru Wendra, lalu tertawa.
Petra memandang jam tangannya.
“Ya udah, yuk cepetan ke sana. Sepuluh menit lagi kita masuk lho,” katanya, mulai tegas lagi sebagai ketua kelas. Semua temannya lalu mengangguk. Mereka bergegas ke perpustakaan yang tidak begitu jauh, dekat dengan laboratorium IPA dan Mushala.
Tempat itu sepi, hanya ada beberapa murid yang sedang membaca sambil diam, yang lainnya lagi sedang menyelesaikan proses meminjam atau mengembalikan buku. Bu Hana, penjaga perpustakaan tampak sibuk melayani murid. Petra bergegas mendatanginya. Ruang arsip yang berisi dokumen tertulis, koran-koran atau majalah lama ada di bagian paling dalam perpustakaan dan hanya bisa dimasuki jika sudah meminta izin karena di dalamnya banyak arsip-arsip lama yang ringkih dan penting.
Petra menunggu dengan sabar di depan meja sampai Bu Hana selesai berurusan dengan murid terakhir.
“Selamat siang Bu,” sapanya setelah murid terakhir minggir. Dia segera maju.
“Siang,” balas Bu Hana, singkat dan padat, tanpa mengangkat wajah dari komputer. Bu Hana terkenal tidak suka bertele-tele dan beramah tamah dengan para siswa. Dia sangat menghargai waktu dan tidak mau membuang-buangnya demi menjalin hubungan akrab dengan murid-muridnya. Bahkan ada gosip kalau tidak ada yang pernah melihatnya tersenyum atau tertawa dengan murid. Semua anak bahkan punya julukan kurang ajar buatnya, Nenek Kaku. Guru itu berumur sekitar 40 tahun. Rambutnya digelung ketat, wajahnya selalu terlihat serius. Pakaiannya selalu rapi dan necis, sepatunya bahkan berganti setiap hari. Anak-anak sampai bergosip bahwa dia takut kotor sehingga sangat menjaga kebersihan sepatunya.
“Saya sama teman-teman mau masuk ke ruang arsip Bu,” kata Petra sesopan mungkin.
“Untuk apa?” tanya Bu Hana segera. Mendengar pertanyaannya Petra langsung gugup. Dia kira akan langsung diberi izin tanpa ditanya-tanyai.
“Kami mau lihat arsip koran lama sekolah Bu,” jawabnya segera, suaranya mulai bergetar. Dia bisa merasakan teman-temannya mengerut di belakang, tak ada yang berani berkata apa-apa. Sialan kalian, rutuknya dalam hati. Padahal dia pikir teman-temannya akan langsung nimbrung demi melunakkan Bu Hana. Kalau tahu begini sama saja menghadapi Bu Hana sendirian.
“Mau lihat arsip koran lama sekolah?” tanya Bu Hana, akhirnya mengangkat wajah lalu memandang mereka dengan tajam. Melihat tatapannya Juna langsung keder dan mundur tiga langkah.
“Eh, iya Bu,” jawab Petra, tambah gugup. Dia sendiri jarang main ke perpus, karena kata teman-temannya di sana tempat horor. Makanan sama sekali nggak boleh dibawa masuk, kalau ketahuan langsung diberi sanksi keras. Kalau bawa ponsel, jangan lupa di-silent. Pernah ada kejadian murid yang membawa ponsel lalu ada telepon masuk dan Bu Hana langsung ngamuk, ponsel itu langsung disita dan baru tiga hari kemudian dikembalikan. Lalu yang paling penting, sampai ketahuan ngomong keras, apalagi ketawa karena bakal langsung ditendang keluar. Petra sendiri pernah dengar ada murid cowok yang dijewer keluar lalu dimarahi setelah sampai di luar. Mengingat hal itu Petra reflek memegang telinganya. Teman-temannya di belakang kembali tak ada yang menyahut sama sekali, semuanya menjaga jarak sejauh mungkin dari Bu Hana.
“Sebentar,” balas Bu Hana kemudian. Dia lalu mengambil kunci di atas meja lalu masuk ke ruang arsip. Petra dan teman-temannya lalu saling berpandangan.
Sekitar lima menit kemudian Bu Ningrum keluar. Petra dan yang lain mulai gelisah karena Bu Hana sudah membuang waktu lima menit mereka.
“Kalian sudah boleh masuk sekarang. Jangan diberantakin ya, setelah selesai dibaca disusun lagi kayak sebelumnya. Nggak boleh ada yang berbeda dari sebelumnya. Kunci tetap di tempatnya, kalau sudah selesai bilang saja ke saya, nggak perlu kalian yang kunci ruangannya,” katanya panjang lebar.
“Siap Bu,” kata Petra segera. Dia berusaha mengingat-ingat semua syarat yang diberikan Bu Hana.
Anak-anak lalu masuk ke dalam ruang arsip. Setelah sampai di dalam, Wendra menghembuskan nafas lega.
“Buset, Nenek Kaku emang serem banget, bener kata anak-anak yang lain.” Dia lalu tersenyum lebar. Melihat senyumnya Petra langsung jadi jengkel
“Kenapa kalian nggak ada yang bantuin ngomong sih tadi?” dampratnya segera.
“Gimana bisa, dianya aja ngelihatinnya gitu! Ya kita jadi takut lah!” balas Zevania langsung mempertahankan diri.
“Ya udah, yuk cepetan nyari, keburu masuk! Arsipnya banyak lho!” seru Windy segera, mulai panik. Dia memandang ke arah sekeliling ruangan dengan putus asa.
Semua anak langsung sadar.
“Buset.” Wendra melongo. Dia akhirnya sadar isi ruangan yang sedang dimasukinya.
“Duh ternyata arsipnya segini banyak,” keluh Zevania segera. Dia mulai was-was kalau waktunya tidak cukup.
Ruang arsip sebenarnya tidak besar. Ukurannya hanya 4x4 meter, dengan beberapa rak disandarkan di keempat sisi. Ada sebuah jendela besar di pojok sebelah kanan sehingga ruangan tidak sumpek. Di tengah ruangan ada sebuah meja dengan dua kursi. Tapi arsip-arsip di dalamnya sangat padat dan banyak. Satu bagian lemari bahkan memuat ratusan map plastik yang tebalnya masing-masing lima senti.