Mereka lalu kembali berjalan balik ke ruang klub, semuanya ingin langsung membahas apa saja yang mereka sudah dengar. Wendra terlihat antusias, dia berkali-kali menggumamkan kata “kita bakal terkenal” dan “abis itu masuk tv woy” yang kedengaran norak banget.
Petra yang akhirnya sadar (setelah otaknya loading selama sepuluh menit) menyerahkan kepada teman-temannya untuk melanjutkan pencarian info. Kiran berkata dia akan mencoba bertanya lagi kepada Pak Mustofa dan Petra langsung menawarkan diri untuk menemani. Dia nggak mau Kiran dapat perhatian yang lebih lagi dari bapak tua itu.
Juna dan Zevania berkata mereka akan coba mencari lewat internet sekali lagi, terutama blig-blog horor. Windy serta Wendra berkata mereka akan mencoba mencari tahu kembali lewat koran-koran lama dan dokumen lainnya di ruang arsip, walaupun kemungkinan kecil mereka akan menemukan info lain di sana.
“Apa Bu Hana nggak curiga ntar?” tanya Juna langsung, teringat hal yang masuk akal. Windy dan Wendra langsung berpandangan.
“Oh iya ya,” kata mereka segera. Windy meringis ketika ingat waktu mereka akhirnya menemukan koran lama di ruang arsip , itupun secara kebetulan. Dia punya firasat mereka nggak akan seberuntung itu lagi kali ini.
“Udah, bodo amat aja, yang penting atur-atur aja biar seolah kita nggak nyari sesuatu yang khusus, gitu,” kata Wendra segera sambil mengibaskan tangannya dengan enteng. Dia bahkan sudah merencanakan akan berbohong pada Bu Hana.
“Ya udah, mulai besok atur aja bagian masing-masing. Sekarang kita istirahat dulu aja, lagian nggak mungkin lanjut syuting dengan orang segini doang,” kata Petra segera.
“Kita ke ruang ekstrakurikuler dulu aja, kumpul bentar,” lanjutnya.
“Ya udah, tapi jam 4 ntar aku juga ada acara. Jadi ntar izin pulang duluan ya,” tambah Zevania sambil mengecek jam tangannya.
Mereka lalu berjalan meneruskan berjalan. Sesampainya di depan ruangan, Petra membuka pintu dan matanya tiba-tiba membelalak. Tubuhnya tiba-tiba mendadak kaku. Anak-anak lainnya yang berdiri di dbelakangnya menunggu giliran masuk langsung protes.
“Petra, cepetan masuk gih!” seru Windy. Petra tak menjawab, bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada suara yang keluar.
“Woy Pet, jadi masuk nggak?” tanya Wendra tak sabar. Dia lalu mendorong Petra ke samping. Petra tidak memprotes. Dia masih terdiam, tak berkata apa-apa.
“Kenapa sih?” lanjut Wendra bingung. Dan ketika dia sudah masuk ke dalam ruangan, dia langsung paham.
“Ini ... nggak mungkin,” terdengar suara pelan dari bibirnya. Dia kelihatan seperti habis ditonjok.
Suasana di dalam ruang ekstrakurikuler sangat berantakan. Semuanya kacau balau seperti habis terkena bom. Kostum-kostum dalam lemari kecil bertebaran di lantai, semuanya dalam kondisi rusak. Banyak properti syuting lainnya yang tergolek di lantai dalam keadaan nyaris tidak bisa dikenali lagi.
“Kenapa sih?” tanya Windy sambil melongok dari belakang Wendra. Tak lama kemudian, ekspresi wajahnya langsung berubah.
Juna melongo. Wendra memandang sekelilingnya dengan tak percaya.
“Ini ... Ini nggak ...” Dia sampai kehilangan kata-kata.
Petra mendekati meja di mana terdapat laptopnya. Dengan kaku dia membuka laptop, lalu tangannya bergerak secara otomatis.
“Datanya ... semua datanya ...” Suaranya menghilang. Anak-anak lainnya menatapnya.
“Hilang,” lanjutnya. Wajahnya memucat, seolah tidak berdarah. Wajah anak-anak lainnya langsung ikut-ikutan pucat.
***
“Nggak mungkin! Kenapa bisa jadi gini?” Wendra berseru keras memegang kepalanya, terlihat bingung, marah dan panik. Dia lalu berkeliling ruangan, mengecek setiap sudut, seakan mencari apakah masih ada yang bisa diselamatkan.Tapi ruangan porak poranda dan tak ada kemungkinan ada yang masih utuh di tempatnya tanpa tersentuh.
“Semua rusak!” serunya tak percaya.
Dia tiba-tiba teringat sesuatu lalu segera berjalan menuju lemari di sudut yang ternyata terkunci.
“Untung kekunci! Jadi kamera dan peralatan buat ngerekam masih utuh!”
Juna menatapnya.
“Tadi ... tadi sebelum kita keluar aku kunci. Soalnya si Bima suka sembarangan naruh perkap,” katanya pelan. Bima adalah salah satu anak kelas 1 yang membantunya dalam proses merekam.
Wendra langsung menghampiri Juna dan memeluknya.
“Jenius!” Dia kelihatan kayak mau nangis. Juna langsung melepasnya dengan risih.
“Iya iya sama-sama deh.” Dia lalu menoleh ke arah Petra.
“Kenapa sih tadi ditinggal laptopnya!” teriaknya kepada Petra. Petra yang masih syok tidak menjawab.
Zevania dan Windy mendekati salah satu lemari tempat kostum. Dengan linglung Zevania memegang kostum hantunya yang sudah robek-robek. Wajahnya tampak terpukul. Windy membuka kotak makeup, wajahnya langsung hampa ketika melihat bahwa peralatan makeup sudah rusak. Wadah bedak hancur berantakan, lipstik-lipstik dan kuas wajah patah, dan ada bekas tumpahan maskara di lantai.
“Semuanya beneran rusak,” kata Windy akhirnya, suaranya parau. Beberapa saat kemudian air matanya turun dan dia mulai menangis.
“SIALAN!” Petra membanting salah satu kaleng cat. Dia lalu terduduk frustasi di salah satu sudut dan menenggelamkan kepalanya dalam lutut.
Semua anak lalu terdiam di tempat mereka berdiri. Tidak ada yang bicara lagi setelah itu, terlalu syok.
“Guys,” kata Kiran tiba-tiba dengan suara pelan. Dia memandang Windy yang sedang menangis dengan pandangan cemas.
Tidak ada yang menanggapinya. Semua anak memandang ke lantai. Wendra menutup wajah Zevania masih seperti orang melamun.
“Kalian nggak perlu khawatir,” lanjutnya pelan. Dia kelihatan dua kali lebih cemas. Kembali tidak ada yang menanggapinya.
“Semuanya rusak tapi yang paling utama aman,” lanjutnya.